Biaya Mahal Kepala daerah terpilih, banyak masuk Penjara, Soal Pengembalian Modal .
Oleh : Yonas Chawaibo Yewen
Melanesiatimes.com – Otonomi darah sebagai komitmen dan kebijkan politik nasional merupakan langkah stretegis yang diharapkan akan mempercepat pertumbuhan dan pembangunan daerah disamping memciptkan keseimbangan pembangunan antar daerah di Indonesia. Kebijakan pembangunan yang sentralistis pada masa lalu dampaknya sudah diketahui, yaitu adanya ketimpangan antar daerah.
Namun demikian, pembangunan daerah tidak akan terjadi dengan begitu saja, tanpa adanya proses-proses pelaksanaan pemerintahan yang baik yang dilakukan oleh para penyelenggara pemeritahan di daerah, yaitu pihak legeslatif (DPRD Provinsi, Kabupaten dan kota), dan eksekutif di daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota).
Kebijakan otonomi daerah memiliki implikasi sejumlah kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah. Untuk dapat menjalankan pemerintahan yang baik secara cermin otonomi daerah yang sesuai dengan harapan maka perlu adanya suatu pemilihan umum yang dimaksudkan untuk memilih Gubernur, Bupati/Walikota yang diharapkan mampu membawa perubahan bagi daerah otonom sehingga mampu mengurangi ketimpangan kesejahteraan antar daerah.
Konflik dan Kekerasan Pilkada
Sistem pemilihan ini, disebut dengan pemilihan Kepala Daerah (PILKADA). Di Indonesia, saat ini pemilihan kepala Daerah dilakukan secara langsung oleh penduduk daerah administratif setempat yang memenuhi syarat. Pemilihan kepala daerah dilakukan satu paket bersama dengan wakil kepala daerah.
Pilkada, sebagai sebuah mekanisme demokrasi sebenarnya dirancang untuk mentransformasi sifat konflik yang terjadi di masyarakat. Pilkada berupaya mengarahkan agar konflik tidak meluas menjdi kekerasan. Sayangnya, idealitas yang dibangun dalam sebuah proses demokrasi, pada kenyataanya seringkali jauh dari apa yang diharapkan. Pilkada yang dirancang sebagai demokrasi elektoral, justru menjadi ajang baru timbulnya konflik kekerasan dan benturan–benturan fisik antar pendukung calon kepala daerah menjdi pemandangan jamak yang ditemui.
Tensi konfik politik masyarakat dinilai lebih tinggi dalam sejumlah moment pemilihan kepala daerah (Pilkada), hal ini menjadi salah satu kelemahan yang mengemuka dari pilkada yang digelar.
tentu tensi konflik ini mengemuka karena banyak peserta tidak mudah menerima kekalahan dalam pilkada. “Mereka itu, tau aturan dan tau menyalankannya. Tapi mereka tidak cukup legowo menerima kekalahan” tandasnya.
Sementara itu, dalam penelitian anatara tahun 2005 – 2008 silam Lembaga Ilmu Peneliti (LIPI/BRIN) 10-15 % pemilihan kepala daerah diwarnai aksi kekerasan. Penelitian dilakukan terhadap pilkada di 491 kabupaten atau kota. Peneliti LPI, mengatakan konflik yang muncul dalam pilkada lebih banyak karena faktor ketidakpuasan terhadap kepala daerah terpilih yang diduga mengunakan politik uang.
Mekanisme demokrasi yang ada seolah justru melegetimasi munculnya kekerasan akibat perbedaan yang sulit ditolerir antara pihak-pihak yang berkepentingan di arena demokrasi. Atas dasar tersebut diatas maka diperlukan penelitian tentang analisis konflik sebagai dampak pelaksanan pemilukada.
High costs Pimilukada Lansung ?
Pemilihan Kepala Daerah (KDH) Guburnur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota seluruh Indonesia dipilih melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) baik Provinsi, Kabupate maupun Kota, tentu menginggat Pemlihan secara lansung memakan biaya yang sangat mahal (high costs read).
Pilkada secara langsung memang pembiayaan tinggi, Ini hanya mengantarkan pelantikan-pelantikan para kepala daerah ini dalam antrian masuk ke penjara. Kenapa? karena dia (Kepala daerah read) kemudian dia dalam tanda petik harus melakukan tindakan-tindakan yang melawan hukum untuk mencari uang kembalian dari biaya politik yang begitu besar.
“ Bahkan kemarin Pilkada tahun 2024 itu, Penulis belum pernah mendapatkan informasi ada satu pilkada kabupaten atau kota yang habiskan biaya dari 50 Miliar belum ada itu, yang disini saya cek habiskan sekian ratus miliar itu baik yang menang maupun kalah itu rata-rata.”
Pemilihan Langsung dan Dampak Pilkada langsung
Sesuai Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengacu pemilihan langsung oleh Rakyat kita bisa masing-masing mengidentifikasi masing-masing menurut penulis dapat menarik beberapa dampak baik itu terhadap kepala darah terpilih itu sendiri dan pelayanan pemerintah yang besih dan berwibawa (God Goverment).
Pertama Pemilihan langsung akan berdampak biaya politik (high costs), Pembiayaan mulai dari konsulidasi, Biaya rekomendasi Partai politik, biaya pendaftaran, biaya pembentuk Tim Sukses, Kampanye, Biaya Saksi, hingga Biaya serangan Fajar, biaya pengawalan suara dan pleno KPU, belum lagi biaya ajukan gugatakan ke Mahkamah Konstitusi Rebulik Indonesia (MK RI) belum lagi biaya tak terduga.
Selanjutnya, kepala daerah yang dinyatakan menang dan dilantik akan mengembalikan uang didukung para pihak ketiga (Kontraktor read) dengan nilai bervariasi, Pihak ketiga tentu mereka harus untung tdk bisa rugi, akan berpengaruh pada kwalitas pekerjaan yang mereka kerja, bisa pekerjaan fiktif, Marc Up, dan tdk ada manfaat untuk rakyat kecil merasakan. Karena dasarnya mereka kontraktor/Pengusaha kejar keutungan karena biaya pilkada langsung, Jika kalau tidak kepala daerah tersebut mereka mereka lapor one prestasi ke pihak berwajib ke Jaksan atau laporan polisi.
Ini semua faktor yang membuat kepala darah tak berdaya dengan sistim pemilihan secara langsung dan kepala daerah bisa melakukan perbuatan melawan hukum, “Sebenarnya mereka kepala daerah orang baik, tetapi situasi memaksa mereka harus berbuat jahat”. Hal tersebut membuat banyak kepala daerah masuk penjara, Jika dia tidak masuk penjara pasti mengorbankan anak buah sebagai tumbalnya.
Kedua, Apratur Sipil Negara (ASN/PNS) ikut bermain politik baik yang secara langsung maupun yang main dibelakang layar atau secara nyata didepan dengan bermodus tertentu. Tentu mereka ASN ini, mempunyai tujuannya untuk mendapatkan Job/Jabatan, Jika si jagoan mereka dukung menang, ini bukan rahasia umum. Undang –Undang ASN Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Neagara sebagaimana di ubah dengan UU No. 20 Tahun 2023 Tentang Apratur Sipil Negara dan UU Pemili tidak ada memberikan efek jera lebih, atau sangsi yang tegas bagi para ASN ini, sehingga mereka lebih leluasa memainkan politik 75 % persen lebih ASN terjung langsung mamainkan peran politiknya seperti kader Parpol.
Ketika kandidat tertentu memang, mereka ikut intervensi dan ancaman dengan tekanan tinggi agar mereka dapat posisi tertentu, disitulah kepala daerah yang dipilih langsung itu tak berdaya, tentu memaksa harus melantik tim sukses berkedok ASN/PNS tersebut sebagai pimpinan SKPD/OPD tidak sesuai basic ilmu atau disiplin ilmunya.
Tentu dia tidak mampu melaksanakan tugas, distu terjadi ketimpangan pelayanan kepada masyarakat, dia kejar DPA saja, tidak bagus dalam peyanan, tdk mampu menyabarkan Visi, Misi Kepala daerah tersebut. Ini adalah sebuah realitas demokrasi yang terjadi daerah maupun nasional.
Belum lagi Alokasi Anggaran baik APBN, APBD Provinsi, APBD Kabupaten/Kota yang digelontor ke KPU dan Bawaslu pusat dan daerah selanjuntnya KPU dan Bawaslu kabupaten/Kota begitu besar, belum lagi biaya pengamanan pemilu juga besar.
Kepala Daerah Dipilih DPRD
Wacana pemilihan Kepala Daerah dipiliah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) baik Pemilihan Guburnur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/ Wakil Walikota seluruh Indonesia. Tentu dipilih melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah baik Provinsi, Kabupaten maupun Kota akan menghemat anggaran (efisiensi) dan meminimalisir konfilik Pemilukada yang berujung pada kekerasan fisik.
Selain efisiensi anggaran dan konflik pilkada, menghilangkan para ASN/PNS yang selama ini ikut bermain politik. Tentu Kepala Daerah yang dipilih bebas dari biaya Politik yang tinggi, Kepala Daerah bebas dari tekanan Tim sukses, tidak ada konflik, bebas menentukan jabatan sesuai kemampuan dan prestasi ASN sehinga perubahan itu benar-benar terjadi di birokrasi yang disebut pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Kita mencermati Pidato Presiden Republik Indonesia, H. Prabowo Subianto dalam acara Hari Ulang Tahun Partai Golkar ke 60 di Jakarta, Jumat (13/12/2024) secara tegas menyebutkan Pilkada Mahal (high kosts) dan Pilkada dipilih DPRD.
Lanjut Presiden Prabowo, dalam pilkada yang mahal, baik yang menang maupun yang kalah sama-sama mukanya lesu. Dia mencontohkan negara tetangga kita lebih efisin anggaran seperti Negara Malaysia, Singapura dan Negara India sekali memilih anggota DPRD, selanjutnya DPRD yang milih guburnur dan Bupati/walikota, kata Presiden Prabowo.
Peryataan Presiden Prabowo, Langsung disambut Ketua Umum Partai Golkar, Dr. Bahlil Ladahalia mendukung sepenyuhnya pernyataan presdien mendukung Pilkada dipilih lewat DPRD yang di siarkan langsung Kompas TV, Jumat (13/12/2024) silam.
Selanjutnya, KPU merespon usulan Presiden Prabowo soal kepala daerah sebaiknya dipilih oleh DPRD. Memurut KPU, evaluasi Pemilu serentak 2024 akan disampaikan ke DPR dan pemerintah untuk jadi bahan pertimbangan dalam hal pemilu ke depan.
Ini yang penulis kira kita sama-sama melakukan koreksi total terhadap perjalanan bangsa ini dan apa yang disampaikan Pak Prabowo ini harus ditindaklanjuti, ini beliau sendiri (presiden read) yang melontarkan gagasan ini. Karena lama sekali, hal ini pernah DPR RI sudah mencoba untuk melakukan perubahan undang-undang Pilkada untuk mengembalikan agar dipilihan oleh DPRD, digugat lagi sama Mahkamah Konstitusi, di tahun 2014 pernah dikeluarkan Perpu oleh Presiden SBY, karena desakan berbagai macam lembaga-lembaga inilah.
Kita mencermati pernyataan Presiden yang dilontarkan seorang mantan Danjen Kopasus itu, tentu beliau melihat dan merasakan bagaimana pilkada langsung yang menguras anggaran, baik yang sebagai calon kandidat Gubernur, Bupati dan Walikota dan pembiayaan di Kelompok penyelengara seperti KPU dan Bawaslu belum biaya pengamanan.
Kepala daerah terpilih (Gubernur, Bupati dan Walikota read) akan berpotensi korupsi atau penyalahgunaan wewenang yang melawan hukum, kenapa? Dia harus pengembalian modal, baik itu modal pribadi atau modal pinjaman pihak ketiga (kontraktor) dan sponsor lainnya.
Kata Profesor Yusril, system yang kuat itu oran jahat akan dipaksa menjadi Orang Baik, Sebaliknya dalam system yang buruk orang baik terpaksa jadi orang jahat.
Dia mencontohkan cape urus KTP bulak balik, pimpong sana-pimpong sini, akhirnya saya datang dan Tanya bung kapan KTP saya selesai, bisa selesai hari ini, bisa pak berapa harus saya bayar 1.000.000,- (Satu Juta Pak) ini saya bayar, kan saya bukan orang jahat, terpaksa saya harus jadi org jahat. Tapi klau kalau system itu kuat dan baik, orang jahat dipaksa jadi org baik. Tentunya, Para gubernur, bupati dan Walikota ini orang baik, tapi berada dalam system yang buruk, terpaksa mereka jadi orang jahat. Kalau mereka ada dalam system yang baik dan kuat mereka jadi orang baik.
Pengamat Politik sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Iwan Setiawan menilai meski bisa lebih efisien dalam anggaran, pemilihan kepala daerah melalui DPRD kurang demokratis karena menghilangkan hak partisipasi politik masyarakat. Iwan juga menyebutkan tetap ada resiko praktik jual beli jabatan, dan rawan korupsi jika DPRD diberi wewenang memilih kepala Daerah.
Penulis ingin meberikan rekomendasi DPR RI, khusus Komisi III, Pertama Perbaikan sistem Demokrasi kita, kedua Perlu reviuw UU ASN, dan Sangsi bagi ASN harus tegas, ketiga Kita dukung program hemat anggaran (efisiensi) dan keempat pilkada Dipilih DPRD atau dipilih langsug Rakyat disarankan mengkaji secara baik dengan semua pihak.
Yonas Chawaibo Yewen : Penulis adalah Mantan Wartawan dan Anggota DPRK Maybrat Periode 2019-202.