Melanesiatimes.com, Kota Sorong, Papua Barat Daya – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Papua Barat kembali menetapkan satu tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Alat Tulis Kantor (ATK) di lingkungan Pemerintah Kota Sorong tahun anggaran 2017.
Tersangka yang baru ditetapkan berinisial JJR, yang diketahui menjabat sebagai bendahara pada Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Sorong. Penetapan ini dilakukan di Kantor Kejaksaan Negeri Sorong pada Rabu, 12 November 2025.
Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Papua Barat, Agustiawan Umar, menyampaikan bahwa penetapan JJR sebagai tersangka dilakukan setelah penyidik menemukan bukti yang cukup dari hasil pemeriksaan mendalam.
“Kita menetapkan tersangka dengan inisial JJR. Dari hasil ekspos tim penyidik, kemudian kita juga mengeluarkan penahanan terhadap tersangka selama 20 hari ke depan,” ujar Agustiawan Umar kepada wartawan di Sorong.
Ia menegaskan bahwa kasus ini menjadi perhatian serius pihak Kejati Papua Barat dan akan dituntaskan sesuai prosedur hukum yang berlaku. “JJR ini bendahara pengeluaran, tentu sebagai bendahara ada tanggung jawab besar yang harus ia emban. Karena tidak mungkin dana hasil audit yang mencapai lebih dari empat miliar rupiah itu keluar tanpa ada kewenangan dari bendahara pengeluaran,” jelasnya.
Dalam proses penyidikan, tim telah memeriksa sepuluh saksi untuk mengungkap keterlibatan pihak-pihak terkait. “Awalnya, JJR diperiksa sebagai saksi untuk dua tersangka sebelumnya. Namun setelah dilakukan pendalaman, tim menilai bahwa yang bersangkutan turut terlibat, sehingga ditetapkan sebagai tersangka,” tambahnya.
Agustiawan juga menekankan bahwa penyidik masih terus mendalami peran masing-masing tersangka dalam kasus ini. “Tergantung tim penyidik dalam mendalami sejauh mana keterlibatan setiap pihak, karena prosesnya masih berjalan,” ujarnya.
Sebelumnya, Kejati Papua Barat telah menetapkan dua tersangka lain berinisial HT dan BMB pada Kamis pekan lalu, 6 November 2025. Ketiganya diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi yang menyebabkan kerugian negara mencapai sekitar Rp4,1 miliar.
Kasus ini menjadi salah satu fokus utama Kejati Papua Barat dalam upaya pemberantasan korupsi di daerah, khususnya dalam pengelolaan anggaran publik di Kota Sorong.