Melanesiatimes.com, Kota Sorong – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Papua Barat menetapkan dua tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Alat Tulis Kantor (ATK) di Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Sorong.
Langkah hukum ini diumumkan oleh Asisten Bidang Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Papua Barat, Agustiawan Umar, pada Kamis (6/11/2025).
Kasus tersebut berawal dari penyelidikan terhadap anggaran belanja barang dan jasa di BPKAD Kota Sorong tahun anggaran 2017. Dari hasil pemeriksaan dokumen keuangan, penyidik menemukan adanya ketidaksesuaian antara anggaran yang dialokasikan dan realisasi di lapangan.
Dua pejabat yang kini ditetapkan sebagai tersangka masing-masing berinisial HJT alias Hanok, mantan Kepala BPKAD Kota Sorong, dan BEPM alias Bambang, yang saat itu menjabat sebagai bendahara. Keduanya diduga terlibat langsung dalam pengelolaan anggaran belanja ATK yang bersumber dari Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak/Bukan Pajak Pusat.
Agustiawan menjelaskan bahwa nilai anggaran yang tercantum dalam DPA SKPD Nomor 41.01.05.01.10.5.2 mencapai sekitar Rp1,35 miliar. Namun, dari hasil audit dan pemeriksaan ahli, ditemukan adanya kerugian negara yang jauh lebih besar, yakni mencapai Rp4,54 miliar.
“Dari hasil penyidikan, kami menemukan bukti kuat bahwa terdapat penyimpangan dalam penggunaan anggaran tersebut, yang menimbulkan kerugian negara cukup signifikan,” kata Agustiawan. Ia juga menambahkan bahwa kedua tersangka kini telah ditahan untuk memperlancar proses penyidikan lebih lanjut.
Kejati Papua Barat sebelumnya telah memeriksa tujuh saksi yang diduga mengetahui proses pengadaan ATK tersebut. Dari tujuh saksi, satu orang diketahui tidak memenuhi panggilan pemeriksaan tanpa alasan yang jelas.
Atas perbuatannya, kedua tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Keduanya juga dikenakan pasal tambahan Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Selain itu, penyidik menyiapkan pasal subsider sebagai alternatif, yakni Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor. Pasal ini menjerat setiap pejabat yang menyalahgunakan kewenangan demi keuntungan pribadi maupun orang lain.
Agustiawan menegaskan bahwa Kejati Papua Barat akan terus memantau perkembangan kasus ini dan membuka kemungkinan adanya tersangka baru. “Kami akan menelusuri setiap aliran dana untuk memastikan seluruh pihak yang terlibat bertanggung jawab di depan hukum,” pungkasnya.