Oleh: Faisal J. Umsero
Ketua Ikatan Mahasiswa Pelajar Pulau Gag
SORONG, Melanesiatimes.com – Ada sebuah ironi yang menyakitkan ketika membaca klarifikasi yang dikeluarkan oleh PT Gag Nikel. Di satu sisi, mereka berbicara tentang prosedur dan program. Di sisi lain, kami, para mahasiswa dari Pulau Gag, hidup dalam realita yang sama sekali berbeda. Namun, di tengah kekecewaan itu, kami menemukan secercah harapan dan kebenaran dalam suara wakil rakyat kami di DPRK Raja Ampat.
Pernyataan yang disampaikan oleh Bapak Muamar Kadafi bukanlah sekadar bantahan, melainkan sebuah pengingat akan kehormatan dan janji. Beliau dengan tegas meluruskan bahwa kewajiban PT Gag Nikel kepada kami, anak-anak adat, bukanlah soal kepatuhan pada Prosedur Operasi Standar (SOP) internal perusahaan. Kewajiban itu jauh lebih luhur, lahir dari sebuah “kesepakatan awal” yang dibuat ketika tanah leluhur kami diserahkan.
Kesepakatan itulah yang menjadi ruh dari perjuangan kami. Kami tidak datang sebagai peminta-minta. Kami datang sebagai generasi yang menagih janji yang dibuat kepada para orang tua kami—janji untuk memastikan masa depan kami terjamin melalui pendidikan, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.
Apa yang disampaikan Bapak Muamar Kadafi adalah kebenaran yang kami rasakan setiap hari. Klarifikasi perusahaan yang berlindung di balik SOP terasa seperti sebuah dalih, sebuah labirin birokrasi yang sengaja diciptakan untuk mempersulit kami mengakses hak yang seharusnya menjadi milik kami. Ini adalah pola yang kami kenali. Pola yang sama ketika masyarakat adat menuntut hak royalti miliaran rupiah yang tak kunjung cair, namun hanya menerima gestur simbolis yang tidak sepadan. “Pola yang sama ketika musyawarah penting tentang nasib kami justru digelar di Jakarta, jauh dari jangkauan suara kami yang sesungguhnya.”
Klarifikasi perusahaan terasa seperti upaya “pembohongan publik” yang disuarakan oleh Bapak Muamar Kadafi, karena ia mengabaikan konteks sejarah dan moral ini. Perusahaan seolah ingin memulai percakapan dari tengah, dari setumpuk aturan internal mereka, sambil melupakan bab pertama dari cerita ini: janji mereka kepada masyarakat adat.
Kami, para mahasiswa, adalah bukti hidup dari janji yang tidak ditepati itu. Kami adalah representasi dari “kesepakatan awal” yang kini coba diabaikan dengan dalih prosedural. Oleh karena itu, kami berdiri tegak di belakang pernyataan Bapak Muamar Kadafi. Suara beliau adalah suara kami. Perjuangan beliau di lembaga legislatif adalah legitimasi atas perjuangan kami di jalanan dan di ruang-ruang diskusi.
Kami tidak menentang pembangunan. Kami adalah masa depan dari pembangunan itu sendiri. Namun, pembangunan macam apa yang bisa berdiri di atas fondasi janji yang diingkari? Kami mendukung penuh seruan DPRK Raja Ampat agar PT Gag Nikel berhenti bersembunyi di balik SOP dan kembali ke meja perundingan dengan hati nurani, untuk menunaikan janji yang menjadi dasar keberadaan mereka di tanah kami.