Hasil Bahtsul Masail PCNU Jakbar : Bela Tanah Air Wajib, Patuh Hukum Negara Boleh Sepanjang Tak Ada Kemaksiatan

Melanesiatimes.com – Pengamat Politik Timur Tengah, Muhammad Najih Arromadloni alias Gus Najih menyampaikan apresiasi atas terselenggaranya bahtsul masail yang diselenggarakan oleh PCNU Jakarta Barat bersama Rumah Wasathiyah.
“Bahtsul Masail ini adalah program Rumah Wasathiyah yang dimaksudkan untuk meneguhkan tradisi keilmuan,” kata Gus Najih dalam paparannya di acara yang diselenggarakan di Masjid Raya KH Hasyim Asyari, Jakarta Barat, Rabu (1/10/2025).
Kajian keilmuan ini penting sekali menurut Gus Najih, sebab kunci beragama yang baik dan benar harus disertai dengan ilmu yang memadai.
“Karena ilmu adalah prasyarat utama dalam beragama. Tanpa ilmu, beragama justru akan mendatangkan mudarat, bukan manfaat,” ujarnya.
Oleh sebab itu, forum-forum kajian keilmuan Islam semacam ini perlu rutin dilakukan dalam rangka mencapai Islam yang wasathiyah.
“Diskusi keilmuan juga penting selalu dilakukan karena kompleksitas masalah saat ini banyak yang tidak tercantum dalam Quran dan hadis, sehingga perlu ijtihad untuk merumuskannya,” tuturnya.
“Kegiatan ini adalah bagian dari ijtihad untuk merumuskan sikap dan kemantapan hati,” sanbung Gus Najih.
Dalam forum bertemakan “Hukum Positif dalam Pandangan Islam” tersebut dihadiri sejumlah tokoh agama dan cendekiawan muslim. Antara lain ; Ustadz Para Wijayanto, Ustadz Aslam, Ustadz Imtihan Syafi’i, Ustadz Ade Muhammad Aziz, Prof. JM Muslimin, KH Ulil Abshar Abdalla alias Gus Ulil, dan KH. Abdurrahman Sholeh.
Diterangkan Prof JM Muslimin memberikan paparan soal konsep ketatanegaraan dengan dalil “barangsiapa tidak berhukum selain dengan hukum Allah maka kafir”.
Dalam pengetahuannya, banyak ulama berbeda pendapat dan mayoritas menyebut jika dalil tersebut tidak serta merta dialamatkan kepada sistem ketatanegaraan, seperti konsep monarkhi, demokrasi, sosialis maupun yang lainnya.
“Hukum Allah yang dimaksud tidak terkait dengan ketatanegaraan,” kata Prof JM Muslimin.
Akademisi dari UIN Syarif Hidayatullah tersebut pun mengutip dalil yang diriwayatkan oleh Ibnu Taimiyah, disebutkan bahwa pemerintahan non islam tapi adil akan diberkahi sementara pemerintahan islam tapi tidak adil akan dihancurkan.
“Karenanya tidak ada alasan untuk melakukan kekerasan atau perlawanan kepada pemerintah dengan alasan mereka tidak melaksanakan hukum Allah,” tuturnya.
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa kunci ”hukum Allah”, mengutip Muhammad Said Ramadhan al Buthi, dalam ketatanegaraan adalah “kebermanfatan atau maslahah”, persatuan bangsa, dan kewajiban membela negara.
“Konsekuwnsinya: hukum negara harus dipengaruhi prinsip maslahat sesuai syariat, hukum harus mewujudkan stabilitias dan kebaikan kolektif, penegakan hukum bertujuan menciptakan masyarakat aman, tertib, dan produktif,” papar Prof JM Muslimun.
Dalam kesempatan yang sama, cendekiawan muslim, Ust Para Wijayanto memberikan paparannya soal konteks kenegaraan, bahwa sebuah bangsa diperintahkan untuk bersatu tanpa mempedulikan latar belakang kesukuan maupun agama.
“Kita semua adalah ummah yang diperintahkan untuk bersatu, apa pun latar belakang agamanya. Itu artinya, meskipun berbeda agama, kita semua memiliki tanggung jawab politik, keamanan, dan sosial yang harus dijalankan bersama,” kata Para Wijayanto.
Setiap insan bangsa Indonesia terlepas apa pun agamanya, memiliki kewajiban untuk bersama-sama menjaga kedaulatan negaranya. Terlebih dalam konsep Islam, membela tanah air adalah wajib.
“Konsep bela negara dalam Islam dan NKRI bukan hanya urusan kelompok tertentu, tapi tanggung jawab kolektif semua warga. Relevan dengan UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar piagam kebangsaan Indonesia,” jelasnya.
Oleh sebab itu, mantan Amir Jemaah Islamiyah terasbut menekankan bahwa untuk bisa menjaga kedaulatan NKRI, harus memahami aspek fundamental. Antara lain ; mandasan hukum & filosofi bela negara di Indonesia yakni Pancasila (Persatuan Indonesia, Keadilan Sosial).
Kemudian UUD 1945. Yang mana di dalam Pasal 27 ayat (3), termaktub tentang hak dan kewajiban bela negara. Begitu juga dengan UU Nomor 3 Tahun 2002 dan UU Nomor 23 Tahun 2019 yang menjelaskan tentang sistem pertahanan semesta, melibatkan seluruh rakyat dan sumber daya nasional,” ucap Ustadz Para Wijayanto.
Maka dari itu, ada makna yang harus dipahami, bahwa bela negara tidak hanya persoalan angkat senjata, akan tetapi juga sikap, perilaku, dan tindakan menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa sesuai peran masing-masing.
“Dimensi perilaku bela negara antara lain ; kesadaran berkonstitusi (taat hukum, menghormati perbedaan). Partisipasi sosial-politik (gotong royong, pemilu, demokrasi). Ketahanan nasional (ilmu, teknologi, ekonomi, kewaspadaan ancaman),” paparnya.
Selain itu juga persoalan kesiapan fisik dan mental (pelatihan bela negara, disiplin, semangat juang). Kemudian hubungan bela negara dengan cinta tanah air yang seharusnya menjadj motivasi, sebab bela negara adalah manifestasi nyata.
Semua itu dapat dilakukan dengan cara menunjukkannya bagaimana menjaga simbol negara, melestarikan budaya dan lingkungan, memakai produk dalam negeri, menjaga citra bangsa.
Dalam perspektifnya, langkah tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan kekinian, yakni memanfaatkan teknologi dan informasi.
“Globalisasi dan digitalisasi: melawan hoaks, ujaran kebencian, disinformasi. Ancaman radikalisme dan terorisme: memperkuat toleransi dan moderasi beragama,” pungkasnya.
Dalam kesempatan yang sama pula, Gus Ulil memberikan pemahaman tentang hukum positif yang berjalan di Indonesia selama ini. Apakah umat Islam boleh patuh pada hukum konstitusi tersebut.
“Terkait tema hukum patuh pada hukum nasional, PBNU menyatakan boleh; selama tidak bertentangan dengan hukum agama,” kata Gus Ulil.
Sebagai pemimpin negara, pemerintah memang berhak untuk menyusun sebuah aturan yang disepakati oleh masyarakat. Bahkan produk Undang-Undang dan regulasi turunannya pun wajib diatuhi oleh umat sepanjang tidak menimbulkan kemudharatan.
“Pemimpin negara diperbolehkan membuat aturan atau siyasah, dan penduduknya wajib mematuhi kebijakan tersebut,” ujarnya.
Bahkan patuh pada aturan hukum konstitusi negara tersebut merupakan bagian dari perintah Allah SWT. Di mana umat wajib taat pada ulil amri atau pemerintah. Hal ini termaktub di dalam Alquran surat Surat An-Nisa ayat 59.
“Alquran menegaskan agar taat kepada Allah, Rasul dan ulil amri. Konsekuensi logis yang dianut para ulama kita adalah mengangkat pemimpin yang bijak. Dalam kitab-kitab klasik disebut kewajiban patuh pada pimpinan berasal dari perintah agama, bukan akal,” pungkas Gus Ulil.
Hasil Bahtsul Masail PCNU Jakarta Barat :
1. Islam memerintahkan taat kepada Allah, Rasul, dan ulil amri selama tidak pada kemaksiatan. Dalam konteks Indonesia, hukum positif boleh dipatuhi meskipun tidak sepenuhnya bersumber dari syariat Islam, selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar agama. Para Ulama memandang Indonesia sebagai Dār al-„Ahd wa al-Syahādah1, sehingga menaati hukum negara adalah bagian dari menjaga kemaslahatan. Hal ini sejalan dengan maqāṣid al-syarī„ah dalam menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta.
2. Islam adalah raḥmatan lil-„ālamīn yang menolak intoleransi, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. Aksi-aksi tersebut bukan jihad, melainkan ḥirābah yang haram karena merusak jiwa, akal, agama, harta, dan keturunan. Pandangan Ulama menegaskan pentingnya moderasi, toleransi, dan keadilan demi menjaga persatuan umat sesuai maqāṣid al-syarī„ah.