Herman Patric Duaramury Divonis 15 Tahun Penjara Dalam Kasus Ulfa Tamima

Melanesiatimes.com, Kota Sorong — Sidang putusan perkara pidana yang melibatkan terdakwa Herman Patric Duaramury berakhir dengan vonis tegas dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sorong. Kasus yang menyita perhatian publik ini berkaitan dengan tindak pidana penculikan dan persetubuhan terhadap korban, Ulfa Tamima.
Dalam sidang yang digelar pada Kamis (4/9/2025), Majelis Hakim menjatuhkan hukuman penjara selama 15 tahun serta denda sebesar Rp100 juta kepada terdakwa. Putusan tersebut dibacakan langsung oleh hakim anggota, Lutfi Tomu, di ruang sidang utama PN Sorong.
Korban, Ulfa Tamima, diketahui adalah berusia 25 tahun yang memiliki keterbatasan disabilitas. Fakta ini menjadi salah satu pertimbangan penting bagi hakim dalam menjatuhkan vonis berat terhadap terdakwa.
Pihak keluarga korban menyambut putusan ini dengan lega. Mereka menilai hukuman yang dijatuhkan sesuai dengan harapan keluarga dan memberikan keadilan yang layak bagi Ulfa.
Fatmawati Tamima, salah satu perwakilan keluarga korban, menyampaikan rasa syukur atas perjuangan panjang yang akhirnya membuahkan hasil. Ia menegaskan bahwa putusan ini memberikan ketenangan dan kepuasan bagi keluarga setelah melalui proses hukum yang cukup melelahkan.
“Kami berterima kasih kepada seluruh pihak, baik aparat penegak hukum maupun masyarakat yang ikut mengawal kasus ini dari awal hingga tuntas. Putusan ini membuat kami lebih tenang,” ujar Fatmawati usai sidang.
Dalam amar putusannya, hakim menyebutkan bahwa terdakwa dinyatakan bersalah melanggar pasal 6 huruf c junto pasal 15 ayat 1 huruf b, junto pasal 4 ayat 2 huruf b Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Hakim Anggota Lutfi Tomu juga menyoroti sikap kuasa hukum terdakwa yang dinilai tidak konsisten dalam pembelaannya. Pasalnya, terdakwa sendiri mengakui telah melakukan persetubuhan, sementara kuasa hukum bersikeras membantah hal tersebut.
Dengan pertimbangan itu, Majelis Hakim menegaskan bahwa pembelaan kuasa hukum tidak dapat diterima dan dikesampingkan dalam proses penentuan putusan.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut terdakwa dengan hukuman 14 tahun penjara. Namun, hakim memutuskan hukuman lebih berat yakni 15 tahun penjara dengan alasan pertimbangan keadilan bagi korban yang merupakan penyandang disabilitas.
Usai pembacaan putusan, kuasa hukum terdakwa menyatakan akan pikir-pikir terlebih dahulu sebelum mengambil langkah hukum lanjutan. Sikap serupa juga ditunjukkan oleh pihak JPU yang menyatakan hal yang sama.
Kasus ini mendapat perhatian publik luas, terutama dari kalangan pemerhati perempuan dan anak di Kota Sorong. Mereka menilai vonis ini menjadi momentum penting dalam penegakan hukum bagi korban kekerasan seksual.
Sidang putusan ini diakhiri dengan suasana haru. Keluarga korban terlihat saling berpelukan, menandai berakhirnya perjuangan panjang mereka menuntut keadilan di meja hijau.
Dengan vonis tersebut, diharapkan kasus ini dapat menjadi pelajaran penting bagi masyarakat luas untuk menghentikan segala bentuk kekerasan seksual dan memberikan perlindungan maksimal kepada kelompok rentan, khususnya penyandang disabilitas.