Melanesiatimes.com – Kebijakan Pemerintah Provinsi Maluku dalam menerbitkan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) menuai kritik tajam. Irwan Abd. Hamid, pegiat hukum sekaligus mahasiswa doktoral Ilmu Hukum Pidana, menilai bahwa penerbitan izin tersebut terlalu prematur dan belum memenuhi standar hukum yang berlaku, terutama dalam aspek lingkungan.
“Izin tambang rakyat seharusnya tidak bisa sembarangan dikeluarkan. Ada tahapan administratif dan dokumen lingkungan yang harus dilengkapi. Faktanya, beberapa koperasi yang sudah mendapat izin belum menuntaskan kewajiban tersebut,” ujar Irwan dalam keterangannya kepada media, Minggu (8/6).
Irwan menyoroti dua poin penting yang sering diabaikan dalam pemberian IPR. Pertama, izin ini bersifat pribadi dan tidak dapat dipindahtangankan ke pihak lain. Kedua, penggunaan bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan sianida dalam pengolahan material tambang sangat dilarang.
“Dua zat itu termasuk kategori B3 (bahan berbahaya dan beracun). Penggunaan mereka bukan hanya melanggar aturan, tapi juga mengancam nyawa manusia dan merusak lingkungan,” tambahnya.
Menurut Irwan, banyak koperasi yang telah mendapatkan IPR ternyata belum terdaftar di sistem Amdal Net, sebuah platform pengelolaan dokumen lingkungan yang menjadi syarat utama dalam aktivitas pertambangan. Tanpa dokumen tersebut, segala kegiatan pertambangan dapat dikategorikan ilegal.
“Ini menunjukkan lemahnya pengawasan. Jangan sampai IPR justru menjadi celah legalisasi bagi praktik tambang yang tidak bertanggung jawab,” tegas Irwan.
Pemberian IPR kepada koperasi atau individu lokal sebenarnya diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2022, sebagai bagian dari desentralisasi kewenangan tambang rakyat. Namun Irwan menegaskan, pelimpahan kewenangan itu tidak boleh mengabaikan syarat dan prosedur yang telah ditetapkan undang-undang.
Indonesia merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi Konvensi Minamata, perjanjian global untuk mengendalikan penggunaan merkuri. Pengesahan dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2017. Hal ini menandakan komitmen serius Indonesia dalam menjaga kesehatan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan.
“Konvensi Minamata melarang penggunaan merkuri, termasuk dalam tambang emas rakyat. Maka, semua IPR yang mengandung potensi pelanggaran terhadap perjanjian ini harus dievaluasi,” jelas Irwan.
Sebagai bagian dari upaya penguatan pengawasan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Hanif Faisal Nurofiq telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) pada 28 Mei 2025 di Mabes Polri, Jakarta Selatan.
MoU tersebut menjadi landasan kerja sama antarlembaga dalam mencegah pencemaran dan kerusakan lingkungan, termasuk yang berasal dari aktivitas tambang rakyat yang tidak sesuai ketentuan.
Irwan mengingatkan bahwa pertambangan rakyat seharusnya berskala kecil, berteknologi sederhana, dan ditujukan untuk warga lokal. Jika realisasi di lapangan tidak sesuai, maka Gubernur Maluku wajib melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh izin yang telah dikeluarkan.
“Jangan sampai izin tambang rakyat justru jadi kedok untuk praktik eksploitatif yang merugikan masyarakat dan merusak lingkungan,” tutup Irwan.