Search

Top yang sering dicari:

1. #Di
2. #Dir
3. #Dird

Polri Grebek Grup Fantasi Sedarah, GPK RI: Langkah Cepat yang Patut Diapresiasi!

Melanesiatimes.com – Polisi gerak cepat! Grup Facebook ‘Fantasi Sedarah’ dan ‘Suka Duka’ yang isinya konten inses dan pornografi akhirnya dibongkar habis. Nggak main-main, enam orang pelaku yang diduga jadi admin dan member aktif langsung digelandang polisi.

Langkah tegas ini langsung dapat apresiasi dari Komite Nasional Gerakan Pemerhati Kepolisian Republik Indonesia (GPK RI). Ketua GPK RI, Abdullah Kelrey, bilang kalau langkah Polri ini patut diacungi jempol karena sudah merespons keresahan masyarakat.

“Ini langkah cepat yang menunjukkan Polri hadir untuk lindungi ruang digital kita dari hal-hal menyimpang. Grup ini jelas melanggar hukum dan sangat meresahkan,” kata Abdullah.

Menurut keterangan resmi dari Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, Selasa (20/5), keenam pelaku saat ini diamankan oleh tim gabungan dari Dittipidsiber Bareskrim Polri dan Ditsiber Polda Metro Jaya.

Trunoyudo juga menyebut, polisi masih mendalami motif para pelaku. Nggak menutup kemungkinan bakal ada tersangka baru, mengingat grup ini punya ribuan anggota.

“Dittipidsiber Bareskrim Polri bersama Ditsiber Polda Metro Jaya berhasil mengungkap kasus grup Facebook Fantasi Sedarah dan Suka Duka, dengan menangkap enam pelaku,” tegas Trunoyudo.

Saat ini, proses penyelidikan terus berjalan. Netizen diimbau lebih waspada dan proaktif laporkan konten mencurigakan. Dunia maya bukan tempat bebas sebebas-bebasnya, tetap harus ada batas!

Equality Before The Law dan Dasar Hukum Pembelaan

Oleh; Ivand Wakano,S.H.

Melanesiatimes.com -Dalam sistem hukum yang adil dan berkeadilan, prinsip equality before the law menjadi salah satu pilar utama. Prinsip ini menegaskan bahwa setiap individu, tanpa memandang status sosial, jenis kelamin, agama, ras, atau latar belakang apapun, memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. Hak atas pembelaan diri adalah salah satu manifestasi paling mendasar dari prinsip ini.

Dasar Hukum Hak Pembelaan
Hak atas pembelaan dijamin dalam berbagai instrumen hukum nasional dan internasional. Di Indonesia, hal ini diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Selain itu, Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga menjamin bahwa tersangka atau terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum guna membela dirinya dalam proses peradilan.

Di tingkat internasional, hak pembelaan juga diakui dalam Pasal 14 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.
Pasal tersebut menegaskan bahwa setiap orang berhak atas pemeriksaan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang kompeten dan tidak memihak.

Pentingnya Hak Pembelaan
Hak pembelaan merupakan bagian integral dari prinsip due process of law, yang memastikan bahwa proses peradilan berjalan secara adil dan menghormati hak asasi manusia.
Tanpa adanya hak pembelaan, seseorang dapat menjadi korban kriminalisasi, diskriminasi, atau pelanggaran hukum lainnya.
Hak ini memberikan ruang bagi setiap individu untuk menyampaikan fakta, bukti, dan argumen hukum yang dapat membuktikan ketidakbersalahannya atau memperingan hukumannya.

Dalam konteks negara hukum, keberadaan penasihat hukum atau pengacara menjadi elemen penting dalam mewujudkan hak pembelaan. Pengacara berperan sebagai penyeimbang antara individu yang berhadapan dengan aparat penegak hukum, sehingga proses hukum dapat berjalan secara adil.

Tantangan dan Realitas
Meskipun hak pembelaan diakui secara hukum, implementasinya tidak selalu berjalan mulus. Banyak masyarakat yang tidak memiliki akses ke bantuan hukum, terutama dari golongan ekonomi lemah. Oleh karena itu, pemerintah perlu memastikan ketersediaan layanan bantuan hukum gratis yang dapat diakses oleh masyarakat miskin, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.

Selain itu, budaya hukum masyarakat juga harus ditingkatkan. Banyak individu yang tidak menyadari hak-hak mereka, termasuk hak atas pembelaan, sehingga cenderung pasif saat menghadapi proses hukum. Pendidikan hukum bagi masyarakat menjadi salah satu solusi penting untuk mengatasi permasalahan ini.

Penutup
Hak pembelaan adalah hak fundamental yang harus dijamin oleh negara hukum. Pelaksanaannya mencerminkan sejauh mana sistem hukum menghormati martabat dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, setiap pihak, termasuk pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat, harus berperan aktif dalam memastikan bahwa hak pembelaan ini dapat terwujud secara nyata, sehingga keadilan benar-benar dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.

Pendidikan OAP Semakin Buruk Di Era Otsus Papua

Penulis  Demas Mobalen – Mahasiswa Universitas Muhamadiyah Sorong

Melanesiatimes.com – Pendidikan menjadi kebutuhan dasar manusia di dunia karena dengan memperoleh pendidikan manusia dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Selain itu, pendidikan menjadi salah satu faktor pendukung dalam kemajuan suatu wilayah, semakin tinggi tingkat pendidikan suatu wilayah akan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dan ikut andil dalam membangun negaranya. Maka dalam hal ini tingkat dan kualitas pendidikan sangat mempengaruhi hasil dari pendidikan seseorang.

Berbicara mengenai masalah pendidikan di Indonesia khususnya Papua tidak akan ada habisnya. Mulai dari kurikulum, pemerataan guru, standar kualifikasi yang dimiliki guru, fasilitas sekolah, dan masih banyak lagi. Berikut ini adalah masalah yang dihadapi Papua dalam membangun pendidikan yang baik. Ketertinggalan Papua dari provinsi lain tak lain disebabkan oleh pendidikan yang belum merata dan kualitas SDM yang masih rendah.

Pada kenyataannya kualitas pendidikan di Indonesia belum sebaik negara lain. Menurut penelitian yang dilakukan oleh The World Bank, World Development Report (2007) menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-39 dari 41 negara yang diteliti dan survei kemampuan pelajar yang dirilis oleh Progamme For International Student Assessment (PISA) pada Desember 2019 di Paris, menempatkan Indonesia di peringkat ke-72 dari 77 negara. Salah satu contoh dari pendidikan yang belum baik adalah pendidikan di daerah Papua khususnya daerah pedalaman. Jika diteliti lebih lanjut, kualitas pendidikan di Papua masih terbelakang jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia, bahkan kondisi di Sini sangatlah memprihatinkan.

Sistem pendidikan di Indonesia bagian Barat secara umum lebih baik dari Indonesia bagian Timur, seperti Papua. Di Indonesia Timur, masih banyak anak-anak yang tidak memiliki akses ke sekolah yang baik.

Kondisi ekonomi, budaya dan aksesibilitas geografis menjadi batasan bagi banyak anak-anak di wilayah timur Indonesia untuk mendapatkan pendidikan dasar sekalipun. Masih banyak masyarakat yang belum peduli dengan pentingnya pendidikan untuk anak-anak. Atau, banyak yang mengalami kesulitan ekonomi sehingga tak mampu menyekolahkan anak-anak mereka.

Janji Otsus Tingal Janji

Pasal 36 Ayat 2 Undang-Undang Otsus No. 21 Tahun 2001 menyatakan bahwa “sekurangkurangnya 30% (tiga puluh persen) penerimaan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) huruf b angka 4) dan angka 5) dialokasikan untuk biaya pendidikan, dan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) untuk kesehatan dan perbaikan gizi”.Selanjutnya pada pasal 56 terdiri dari enam ayat yang mengatur tentang pendidikan.

a) Pertama, Pemerintah Provinsi bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan di Provinsi Papua.

b) Kedua, pemerintah menetapkan kebijakan umum tentang otonomi perguruan tinggi, kurikulum inti, dan standar mutu pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan sebagai pedoman pelaksanaan bagi pimpinan perguruan tinggi dan Pemerintah Provinsi.

c) Ketiga, setiap penduduk Provinsi Papua berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan tingkat sekolah menengah dengan beban masyarakat serendah-rendahnya.

d) Keempat, dalam mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi syarat sesuai dengan peraturan perundang-undangan untuk mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan yang bermutu di Provinsi Papua.

e) Kelima, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat memberikan bantuan dan/ atau subsidi kepada penyelenggara pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang memerlukan.

f) Dan Keenam, pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1) sampai dengan ayat (5) ditetapkan dengan Perdasi.

Enam ayat tersebut dapat disebut sebagai janji pendidikan yang coba diberikan kepada penduduk di Tanah Papua. Sesuatu yang perlu ditepati karena merupakan amanat yang diberikan kepada pemerintah untuk dipenuhi. Undang-Undang Otsus No. 21 Tahun 2001 sudah memberikan rambu-rambu terkait bagaimana kebijakan pendidikan pendidikan di Tanah Papua dijalankan. Pada aturan tersebut diatur mengenai peran dan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan yang harus diselenggarakan oleh negara.

Modouw (2013) berpendapat disahkannya Otsus berarti terdapat sejumlah prinsip penting yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan yaitu menghormati hak-hak dasar penduduk asli Papua, yaitu hak atas rasa keadilan, kesejahteraan, perlakuan yang sama dalam layanan umum maupun di depan hukum, dan penghargaan hak-hak asasinya sebagai manusia, termasuk pula hak masyarakat adat Papua atas pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua. Semua penduduk Papua yang selama ini terisolasi dan jauh dari fasilitas pendidikan, perlu diberikan kesempatan untuk meningkatkan kualitas dirinya melalui berbagai program pendidikan.

Selain aturan uu otsus  didalam  Inpres No. 9 Tahun 2020 tertuang  terdapat beberapa tambahan seperti peningkatan pemerataan akses layanan pendidikan di semua jenjang dan percepatan pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun antara lain dengan bantuan pendidikan untuk anak usia sekolah, penerapan sekolah berpola asrama, sekolah satu atap, sekolah alam, dan model pembelajaran yang sesuai dengan kondisi geografis wilayah, kebutuhan masyarakat dan daerah, terutama di daerah terpencil, pedalaman, pegunungan, kepulauan, dan perbatasan negara; kolaborasi dengan lembaga keagamaan dan lembaga sosial keagamaan dalam pelayanan pendidikan yang merata dan berkualitas melalui peningkatan tata kelola pembangunan pendidikan; bersama-sama dengan pemerintah daerah, dunia usaha dan industri mengembangkan pendidikan vokasi berkualitas sesuai dengan sektor prioritas di daerah; memberi kesempatan yang lebih luas untuk menempuh Afirmasi Pendidikan Menengah dan Tinggi bagi SDM Unggul Papua.

Kunci dari permasalahan di Papua terletak pada pembangunan sumber daya manusia. Masalah rendahnya kualitas sumber daya manusia Papua adalah hal yang sering didengar di tingkat lokal Papua dan nasional. Hal ini disebabkan karena tingkat pendidikan dan kualitas hidup masyarakat yang relatif rendah akibat kurangnya pelayanan kesehatan bermutu, masalah perekonomian, serta kurangnya infrastruktur yang kurang menjangkau hingga ke pelosok-pelosok
Meskipun pendidikan sangatlah penting tetapi tidak banyak masyarakat Papua yang memperoleh kesempatan untuk mendapatkan pendidikan layak khususnya bagi masyarakat yang bermukim di daerah pedalaman. Otonomi khusus diukur dari seberapa jauh masyarakat Papua di kawasan-kawasan terpencil yang terisolir mampu meningkatkan sumber daya manusia karena tersedianya pelayanan pendidikan yang bermutu.

Pendidikan di Papua ibarat bayi yang baru lahir dan dipaksakan untuk berlari. Dimana kurikulum di Indonesia  terus berganti mengikuti perkembangan zaman ini sangat bertolak belakang dengan kondisi ekonomi dan geografis di Papua. Ini juga menjadi salah satu pengahabat pendidikan di Papua yang tidak kunjung diselesaikan oleh pemerintah daerah maupun pusat.

Dr.Ir. Agus Sumule, pakar pendidikan Universitas Negeri Papua dalam laporan berdasarkan data BPS Papua dalam angka 2020, data BPS Papua Barat dalam angka tahun 2020 dan Neraca pendidikan daerah kemendikbudristek mengungkapkan  terdapat  hampir 500 ribu orang, tepatnya 476.534 orang – belum termasuk peserta didik PAUD dan Sekolah Luar Biasa. Angka ini menunjukkan, bahwa 34,58% dari PUS di Tanah Papua tidak bersekolah. PUS (usia 7-24 tahun) di Provinsi Papua sebanyak 1.053.944 orang, dan di Provinsi Papua Barat 324.112 orang.

Jika melihat dari hasil temuan tersebut sangat miris melihat pendidikan di Papua bila dibandingkan dengan besarnya anggaran  dana Otsus yang diluncurkan pemerintah untuk membangun sumber daya manusia Papua. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim mengatakan, Sepanjang 2020, Papua mendapat alokasi anggaran pendidikan Rp1,62 triliun dari total dana Otsus Papua sebesar Rp5,29 triliun. Sementara Papua Barat menerima sekitar Rp 470 miliar dari total dana Otsus Papua Barat Rp1,7 triliun.

Selama ini, kata Nadiem, pihaknya hanya menerima laporan alokasi tentang anggaran pendidikan dari dana otsus yang digelontorkan ke dua provinsi paling timur di Indonesia itu. Namun, tak pernah ada laporan terkait rincian dan detail penggunaan dana otsus bidang pendidikan tersebut.

Buruknya tata kelola dan pengawasan dari penegak hukum  terhadap pengelolaan dana otonomi khusus Papua atau otsus Papua menyebabkan penyaluran dana itu belum tepat sasaran, terutama untuk pembangunan sumber daya manusia.
Meskipun pemerintah daerah seringkali melakukan Memorandum of Understanding (MoU) atau kesepakatan bersama dengan penegak hukum namun sayangnya didalam pengawasan terhadap penggunaan anggaran Otsus  masih sangat lemah dan terkesan terjadi pembiaran. Hal ini sangat mempengaruh pembangunan sumber daya manusia Papua di sektor pendidikan mulai dari tingakat dasar hingga perguruan tinggi.

Peran Strategis Guru dan Dosen dalam Pembentukan Generasi Berkualitas dan Relevansi Teori Pendidikan
Peran Guru dan Dosen dalam Membentuk Karakteristik Siswa dan Mahasiswa Yang Mandiri.
Guru dan dosen merupakan pilar penting dalam dunia pendidikan yang membentuk pola pikir dan karakter manusia.
Mereka tidak hanya bertugas menyampaikan pengetahuan, tetapi juga menjadi agen perubahan yang membimbing generasi muda menuju masa depan yang lebih baik.
karena

Pendidikan menjadi kebutuhan dasar manusia di dunia karena dengan memperoleh pendidikan manusia dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Selain itu, pendidikan menjadi salah satu faktor pendukung dalam kemajuan suatu wilayah, semakin tinggi tingkat pendidikan suatu wilayah akan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dan ikut andil dalam membangun negaranya. Maka dalam hal ini tingkat dan kualitas pendidikan sangat mempengaruhi hasil dari pendidikan seseorang. Berbicara mengenai masalah pendidikan di Indonesia khususnya Papua tidak akan ada habisnya. Mulai dari kurikulum, pemerataan guru, standar kualifikasi yang dimiliki guru, atw pu dosen fasilitas sekolah, dan masih banyak lagi.

Fungsi utama guru dan dosen adalah mendidik siswa dan mahasiswa agar memahami pelajaran yang diajarkan, kemudian menerapkannya dalam kehidupan. Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, mengemukakan bahwa pendidikan adalah usaha untuk memajukan budi pekerti (karakter), pikiran (intelektual), dan jasmani anak-anak menuju kesempurnaan hidup. Dalam peran ini, guru dan dosen bertanggung jawab tidak hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pembimbing moral dan etika.

Menurut Lev Vygotsky, seorang psikolog pendidikan, proses belajar terjadi dalam zona perkembangan proksimal (zone of proximal development). Artinya, guru dan dosen memiliki peran sebagai fasilitator yang membantu peserta didik mencapai potensi maksimal mereka melalui interaksi dan bimbingan. Ini menunjukkan bahwa pendidikan tidak hanya bergantung pada buku atau kurikulum, tetapi juga pada hubungan antara pendidik dan peserta didik.

Selain itu, guru dan dosen bertindak sebagai motor penggerak pembangunan sumber daya manusia (SDM). Malcolm Knowles, dengan teorinya tentang pembelajaran orang dewasa (andragogy), menekankan bahwa dosen khususnya harus memahami bahwa mahasiswa belajar melalui pengalaman, refleksi, dan kebutuhan untuk menyelesaikan masalah dunia nyata.
Siswa dan mahasiswa bukanlah objek pasif dalam proses pendidikan. John Dewey, filsuf pendidikan progresif, menyatakan bahwa pembelajaran harus berbasis pengalaman. Dalam konteks ini, siswa dan mahasiswa harus aktif mencari pengetahuan, mengembangkan keterampilan kritis, dan berinovasi. Mahasiswa, misalnya, memiliki tanggung jawab untuk melakukan penelitian yang relevan dengan disiplin ilmu mereka. Penelitian ini tidak hanya membantu mereka memahami teori secara mendalam, tetapi juga memberikan kontribusi nyata pada masyarakat. Paulo Freire, dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed, menegaskan bahwa pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang membebaskan peserta didik untuk berpikir kritis dan memberdayakan mereka untuk mengubah lingkungan sosial mereka.

Tempat Belajar dan Kualitas PendidikanSekolah dan kampus adalah pusat pembelajaran, tempat guru dan dosen memberikan pelajaran, pengalaman baru, dan inspirasi. Namun, kualitas pendidikan sangat dipengaruhi oleh relevansi kurikulum dan metode pengajaran. Howard Gardner, dengan teorinya tentang kecerdasan majemuk (multiple intelligences), menunjukkan bahwa setiap individu memiliki jenis kecerdasan yang berbeda, seperti linguistik, logis-matematis, spasial, atau interpersonal. Oleh karena itu, pendidikan yang efektif harus mampu mengakomodasi berbagai jenis kecerdasan ini agar peserta didik dapat belajar dengan cara yang paling sesuai bagi mereka.

Sementara menjamin belum melalui taksonominya menekankan pentingnya pengembangan tiga domain pembelajaran: kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotorik (keterampilan). Guru dan dosen yang sukses adalah mereka yang mampu memadukan ketiga domain ini dalam proses pengajaran.
Tantangan dan Solusi

Tantangan utama dalam dunia pendidikan saat ini adalah kesenjangan kualitas pendidikan dan kurangnya adaptasi terhadap teknologi modern. Sugata Mitra, seorang peneliti pendidikan, menyebutkan bahwa teknologi dapat menjadi alat yang kuat dalam meningkatkan akses dan kualitas pendidikan, terutama di daerah terpencil. Guru dan dosen perlu beradaptasi dengan perubahan ini agar tetap relevan dan efektif dalam membimbing generasi muda.

Proyek Strtegis Nasional (PSN), Ekspansi Militerisme dan Eksistensi Kehidupan Masyarakat Adat Merauke Papua Selatan

Oleh: Varra Iyaba Ketua Gerakan Mahasiswa Papua (GERMAPA)

Melanesiatimes.com – Kita perlu ketahui bersama bahwa Program Nasional Negara Kolonialisme Indonesia belakangan ini ada dua yang lagi di prioritaskan yaitu, Proyek Strategis Nasional (PSN) dan Perluasan Struktur Militerisme dalam hal ini (TNI) di beberapa daerah perusahaan ini merupakan produk kejahatan kemanusiaan terhadap masyarakat adat Papua. Kita juga perlu tahu bahwa Perluasan Struktur Militerisme Indonesia dan PSN adalah satu produk yang sama untuk mengancam eksistensi kehidupan Masyarakat Adat Papua demi kepentingan politik pendudukan dan Eksploitasi Sumber Daya Alam. Memang orang Papua melihat setiap program Negara Kolonialisme Indonesia adalah produk kejahatan dalam hal ini, dari sisi Ekosida dan Etnosida berdasarkan jejak rekam yang panjang terjadi di Tanah Papua. Orang Papua telah lama mengetahui watak asli Negara Indonesia penuh dengan nafsu politik pendudukan dan rakus akan sumber daya alam Papua tanpa memperdulikan hak atas hidup orang Papua.

Apa yang di maksud dengan Proyek Stategis Nasional (PSN) dengan model ekonomi Food Estate.
Proyek Strategis Nasional (PSN) dengan model ekonomi Food Estate merupakan salah satu kebijakan pemerintah Kolonialisme Indonesia yang di rancang dengan konsep pengembangan pangan terintegrasi,dan konsep ini yangb di gagas oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2020. Food Estate juga merupakan pengembangan pusat pangan, yang tidak hanya mengembangkan pusat pertanian Sawa tetapi pusat pertanian lain, seperti Singkong, tebu, petatas, dll. Konsep ini di dorong dengan kepentingan akumulasi modal bagi Kapitalis dan Kolonialisme selaku anjing penjaga kebun sih kapitalis.Pemerintah Kolonial Indonesia sebelum meluncurkan Proyek Stategis Nasional model Food Estate ini, seharusnya melakukan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL), tetapi dengan nafsu eksploitasi dan ekplorasi Sumber Daya Alam terburuh – buruh meluncurkan program tanpa memiliki analisis.

Orang Papua telah mengetahui lama dengan segalam macam tipu daya Negara Kolonialisme Indonesia mengunakan dalil bahwa masyarakat adat Papua mengalami krisis energy dan pangan. Orang Papua juga tahu bahwa itu slogan kosong yang selalu di gunakan oleh Negara Kolonialisme untuk menjalankan proses akumulasi modal. Masyarakat adat Merauke memiliki rekam jejak para capital merampas ha katas tanah dengan segala macam tipu daya kepada masyarakat, waktu 36 perusahaan dengan program MIFE masuk itu sudah mengalami kehilangan tanah ribuan hektar. Memang itu watak keaslian kolonialisme dan Negara Negara capital di dunia untuk keruk sumber daya alam bangsa lain.

Ekspansi Militerisme Kolonial Indonesia
Ekspansi militerisme atau mobilisasi militerisme massif dalam suatu bangsa itu kita harus waspada karena praktik negara kolonial untuk menakluhkan sebuah bangsa yang tertindas, dan hal itu kebudayaan dari leluhur kolonial itu sendiri guna menghancurkan rakyat yang memiliki potensi sumber daya alam demi kepentingan akumulasi modal. Hari ini kalau terjadi ekspansi militerisme dalam skala besar ke Tanah Papua itu tanda bahwa bangsa ini sedang menuju kehancuran. Negara Kolonial Indonesia dari sejak 60-an sampai detik ini 2025 masuk, selalu mengunakan militer sebagai alat untuk melanggengkan penindasan dan eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) Papua. Militerisme selalu mengunakan praktik – praktik pembungkaman ruang kebebasan berekspresi bagi masyarakat adat Papua ini juga merupakan kejahatan kemanusiaan dan memperkosa undang – undangnya sendiri tentang demokrasi.

Satu bentuk kejahatan kemanusiaan dan pembungkaman ruang hidup masyarakat adat Papua adalah pendoropan institusi TNI 400 personil ekspansi ke wilayah Masyarakat Anim-Ha di Merauke Pada hari Minggu 03 November 2024 lalu, dan meluncurkan alat berat sebagai sarana Proyek Strategis Nasional (PSN) Food Estate di Distrik Kurik dan Distrik Ilwayab Kabupaten Merauken Provinsi Papua Selatan. Dari sini kita bisa menilai bahwa setiap ekspansi militerisme TNI/POLRI memasuki wilayah Papua dengan tujuan untuk melindungi setiap Perusahaan, dan kita bisa mengatakan Negara menjadikan militer sebagai anjing penjaga kebun tuannya.

Selain militerisme menjaga kebun sih Kapitalis, ia juga membungkanruang kebebasan berekspresi bagi masyarakat adat dan mengancam eksistensi kehidupan secara terustruktur, sistematis, dan massif. Kehadiran militerisme dalam skala besar di wilayah Proyek Strategis Nasional (PSN), sudah tentu masyarakat Merauke terintimidasi secara langsung karena watak militerisme Indonesia yang selalu melanggengkan kejahatan kemanusiaan / pelanggaran HAM dari waktu ke waktu.

Fakta Perampasan Tanah Adat di Merauke
Kita telah mengetahui bersama bahwa data yang di keluarkan oleh Yayasan Pusaka Bantala (PUSAKA 2024) bahwa tanah yang di rampas oleh perusahaan Cetak Sawa, Tebu, dan Pembuatan Saluran Irigasi 2.000 juta hektar ini tanpa ada mufakat bersama masyarakat adat sebagai ahli waris Tanah.

Proyek Pengembangan perkebunan Tebu dan Bioethanol yang di kelola 10 perusahaan dengan lahan seluas 500 hektar.
Proyek Optimalisasi Lahan (OPLAH) melalui mekanisme pertanian saluran Irigasi, pembersi alat mesin pertanian (ALSINTA) di 6 Distrik Yakni; Distrik Kurik, Distrik Tanah Miring, Merauke, Semangga, Jagebob, dan Malind dengan lahan seluas 400 hektar, yang di kelola oleh Kementrian Pertanian, pemerintah daerah, TNI Petani dan Mahasiswa Polbangtan.
Proyek Cetak Sawah baru di kelola Kementrian Pertahanan dan Kementerian Pertanian, dengan lahan seluas 1.000 juta hektar pembangunan sarana dan prasarana ketahanan pangan.

Dan ini salah satu bukti dari pada kejahatan kemanusiaan dengan kekuatan Militer TNI/POLRI merampas hak atas Tanah Masyarakat adat yang selalu hidup bergantung pada hasil ola Tanah dengan cara tradisional mereka. Kita menilai dan bisa mengatakan bahwa Proyek Strategis Nasional (PSN) yang di luncurkan oleh Negara Kolonialisme Indonesia ini merupakan salah satu produk kejahatan kemunusiaan untuk rakyat Papua.Rakyat Papua memiliki rekam jejak pelanggaran HAM cukup banyak yang di lakukan oleh Negara Indonesia, maka rakyat melihat setiap produk Kolonial adalah kejahatan kemanusiaan, bukan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat. Rakyat Papua di Merauke masih eksis menolak Proyek Strategis Nasional (PSN) karena mereka tahu isi dari pada produk (PSN) adalah kejahatan, dan mereka juga sudah lama mengetahui dengan proses panjangnya industrialisasi di tanah Papua yang selalu mengancam eksistensi kehidupan mereka.

Argumentasi Hukum Masyarakat Adat Menolak Proyek Strategis Nasional (PSN) di Merauke Papua.
Argumentasi Hukum masyarakat adat “PAPUA BUKAN BUKAN TANAH KOSONG! ANIM-HA BUKAN TANAH KOSONG!” Masyarakat adat Merauke menolak dengan argumentasi itu karena mereka adalah ahli waris tanah Anim-Ha, Tanah Anim-Ha Merauke yang di miliki oleh manusia berkulit hitam rambut keriting, ras Negroid, rumpun Melanesia Bangsa West Papua. Marga mereka adalah sertifikat asli yang tidak bisa di gangu gugat dengan dalil apapun, baik itu kepentingan Negara sekalipun.
Undang – undang Nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok – pokok agrarian (UUPA) mengatur perlindungan tanah adat, undan – undang ini juga mengatur hak ulayat masyarakat Adat.
Berikut ini beberpa hal yang di atur dalam (UUPA):

Menghapus perbedaan antara hukum perdata belanda terkait pertanahan. Memastikan kepastian hukum dengan mengatur penndaftaran tanah. Mengatur hak milik atas tanah sebagai hak turun – temurun,memberikan mandate untuk mendaftarkan seluruh tanah adat milik masyarakat adat.

Selain UUPA, perlindungan tanah adat juga di atur dalam pasal 18 B UUD 1945. Pasal ini mengakui dan menghormati kesatuan – kesatuan masyarakat hukum adat dan hak – hak tradisional.

Kita telah ketahui bersama bahwa ada hukum kolonial Indonesia yang melindungi hak – hak tanah masyarakat adat, namun hukum itu tidak berlaku di atas tanah Papua. Ada Hukum namun terlihat diskriminasi terhadap masyarakat adat terlebih khusus di Tanah Papua karena fakta tidak melindungi hak atas tanah adat. Hukum Kolonialisme Indonesia berpihak pada kaum kapital demi kepentingan akumulasi modal, dan hukum akumulasi modal tidak peduli dengan hukum adat di tanah Papua. Hukum di jual belikan antra para investor, pemerintah, dan hakim yang memiliki kuasa hukum Negara kolonialisme Indonesia. Mereka ini saling menguntungkan tanpa memikirkan hak hidup masyarakat adat Papua dan 3 pecundang ini merusak moral hukum republic Indonesia. Kita juga bisa mengatakan bahwa mereka ini actor yang memperkosa undang – undang agrarian yang melindung hak – hak tanah masyarakat Adat.

Tantangan dari Proyek Strategis Nasional (PSN) ini yang akan di Alami oleh Masyarakat Adat Anim-Ha / Merauke.
Dampak Sosial

Masyarakat adat Merauke mengalami kehilangan tanah 2.000 juta hektar ini tentu mereka terancam hak atas hidup.
Proyek Strategis Nasional tentu mengantikan pangan local ke pangan korporasi demi kepentingan akumulasi capital.
Proyek Strategis Nasional (PSN) ini masuk merusak relasi sosial bagi masyarakat Adat Merauke.

Merusak struktur Sosial bagi masyarakat adat. PSN juga tentu memusnakan pengetahuan – pengetahuan adat
Ekspansi militerisme (TNI/POLRI) dalam skala besar tentu membungkam ruang hidup masyarakat adat dengan dalil keamanan dan ketertiban wilayah konservasi perusahaan.

Ekspansi militerisme justru memperburuk kebebasan ruang hidup masyarakat Adat Anim-Ha Merauke
Normalisasi perkawinan di antara masyarakat adat setempat dengan TNI yang bertugas di wilayah Proyek Strategis Nasional (PSN) di Merauke / Anim -Ha, masyarakat adat kehilangan alat – alat bangunan tradisional kanera deforestasi hutan yang massif di wiayah merauke tempat dimana Proyek Strategis Nasional (PSN) beroperasi.

Memusnakan seluruh makhluk binatang yang berada di wilayah konservasi. Perusaan juga sudah pasti menciptakan Konflik sosial diantara masyarakat adat merauke / Anim-Ha

Dampak Iklim
Temapt dimana perusahaan beroperasi tentu membuat polusi yang buruk akibat dari perusahaan Proyek Strategis Nasional (PSN) di Merauke/ Anim-Ha. Pembuangan limba tanpa memikirkan hak atas hidup dan kesehatan mental bagi masyarakat adat setempat

Setiap sungai sudah tentu tercemar dari perusahaan Proyek Strategis Nsional (PSN) Food Estate. Pemanasan iklim akibat operasi perusahaan, suhu air laut terus naik setiap detik. Bencana alam dapat terjadi akibat dari kerusakan lingkungan hidup yang semakin para. Hutan lindung dan Konservasi yang di deforestasi sangat luar biasa demi kepentingan perusahaan Tebu dan Sawa melalui Program Nasional, dalam hal ini Proyek Strategis Nasional (PSN). Menghisap dan merusak sari sari tanah tempat perusahaan beroperasi. Batas – batas planet bumi krisis.

Masyarakat Adat mengalami kegagalan panen karena banjir yang mengakibatkan kerusakan hutan,bencana kelaparan bagi masyarakat adat karena kehilangan hak atas tanah,kehilangan obat – obatan tradisional yang sering masyarakat adat gunakan untuk mengobati kesakitan,kehancuran tempat ritual – ritual adat sebagai kepercayaan tradisional bagi masyarakat adat Anim-Ha / Merauke mengalami kehancuran kepercayaan tradisioanl bagi masyarakat Adat dan tentu masyarakat adat mengalami krisis banyak hal ketika perusahaan mulai beroperasi.

Rekomendasi atas Perampasan Tanah Masyarakat Adat di Merauke
Uskup Mgr. Petrus Canisius Mendagi. MSC. Penjahat bagi Umat di Keuskupan Merauke, agar segera bertnggung jawab atas pernyataan yang memberikan legitimasi kepada program Proyek Strategis Nasional (PSN) di Merauke. Negara segera membatalkan Program Pembangunan 5 KODIM di wilayah Proyek Strategis Nasional (PSN) di Merauke. Negara Indonesia agar Segera Tarik TNI 400 personil yang di drop ke Merauke demi kepentingan melindungi perusahaan.

Kami tujukan Kepada seluruh LSM dan Organisasi revolusioner progresif yang berada di Indonesia dan lebih khsus di Tanah Papua, agar segera membangun kesadaran masyarakat adat dengan kritis. Kami yakin bahwa ketika masyarakat adat memiliki kesadaran kritis, tentu menolak segala bentuk investasi dan kepentingan lain di Tanah Papua.

Kami juga sarankan kepada seluruh LSM dan organisasi Revolusioner agar mengawal setiap kasus perampasan adat dan perampokan sumber daya alam untuk mencabut izin investasi di atas tanah Papua, pada khususnya di PSN di merauke. Kami meminta kepada seluruh NGO/LSM di Tanah Papua bangung koalisi bersama untuk mengawal kasus perampasan tanah 2.000 hekta di Merauke agar proses hukum berjalan dengan cepat, dan mencabut izin perusahaan. Apa bilah seluruh usul saran dan proses advokasi persoalan tidak berjalan dengan baik, maka bangun kesadaran revolusioner kepada masyarakat adat untuk memimpin pemerontakan merebut Kemerdekaan West Papua.

Pentingnya Menjaga Esensi Politik dan Demokrasi Sebagai Ritual Peradaban

Melanesiatimes.com – Politik bukankah sekadar peran, melainkan sebuah panggilan yang menuntut integritas. Namun, sering kali dalam menjalani peran tersebut, seseorang bisa kehilangan nuraninya. Padahal, nurani adalah cahaya yang menuntun setiap langkah menjadi berarti bagi sesama.

Dalam dunia politik, nurani adalah fondasi yang memastikan setiap kebijakan dan keputusan memuliakan manusia.

Sebagai generasi penerus (baca: anak muda), kami berharap mendapatkan edukasi politik yang baik, edukasi yang bukan hanya berbentuk teori atau retorika, tetapi mampu membangkitkan kesadaran akan tanggung jawab besar terhadap bangsa dan negara.

Dengan pembekalan ini, kami yakin bahwa tujuan politik yang dirintis oleh para pendahulu dapat kami lanjutkan dan wujudkan sesuai dengan harapan serta perjuangan mereka, dalam hal ini adalah para pendahulu atau pelopor eksistensi _(the founding fathers)_ bangsa ini.

Sesungguhnya, politik adalah jalan yang mulia. Berpolitik dengan demikian sejatinya merupakan tujuan menjaga ritual bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara agar tetap harmonis dan bermartabat. Dalam politik yang sesungguhnya, terdapat semangat pelayanan, keadilan, dan kemaslahatan bersama sebagai sesuatu yang tidak boleh hilang dari esensinya.

Melampaui Ritual Formal

Esensi politik dan demokrasi terletak pada kemampuannya untuk menciptakan tatanan sosial yang adil inklusif. Demokrasi idealnya menjadi ruang di mana semua pihak dapat berpartisipasi tanpa terkecuali. Jika demokrasi hanya dijadikan alat atau medium untuk mencapai kekuasaan tanpa menghargai substansi nilai-nilainya (the values), maka ia akan kehilangan makna.

Sebagaimana menyitir Jürgen Habermas, seorang filsuf dan pemikir dari Jerman itu, bahwa demokrasi tidak hanya menyangkut prosedur memilih, tetapi sekaligus tentang proses diskusi publik (public discussion) yang rasional, kritis dan terbuka. Habermas menempatkan diskursus publik  (public discourse) menjadi inti dari demokrasi, di mana kebijakan yang diambil harus didasarkan pada argumentasi yang dapat diterima oleh semua kalangan. Ia menyebut proses tersebut sebagai demokrasi deliberatif (deliberative democracy).

 

Di samping itu, tentu tidak dapat dimungkiri juga bahwa tantangan yang dihadapi demokrasi saat ini sangatlah kompleks. Praksis politik yang terlampau pragmatis seringkali mendistorsi esensi dari demokrasi menjadi sekadar perkakas untuk memanipulasi publik demi kepentingan kelompok tertentu.

Hal ini dapat mengikis kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi itu sendiri. Oleh sebabnya, menjaga integritas proses politik menjadi sesuatu yang penting bagi semua elemen masyarakat agar demokrasi tidak hanya sekadar sebagai ritual formal, tapi lebih dari itu benar-benar mencerminkan kehendak rakyat yang sesunggunya.

-Sebuah Pesan-

Dalam konteks Indonesia, demokrasi harus dipandang sebagai bagian dari identitas kebangsaan yang menjunjung tinggi nilai musyawarah dan mufakat sebagaimana terkandung dalam Pancasila.

Menjaga esensi demokrasi berarti menjaga nilai-nilai Pancasila tetap hidup dalam praktik politik sehari-hari. Demokrasi yang sehat akan melahirkan peradaban yang kuat, di mana keberagaman dihormati dan kepentingan bersama menjadi prioritas.

Izinkan saya mengutip pesan mendalam dari abang sekaligus senior saya: “Tidak ada kata pesta dalam demokrasi. Sebab, ujung dari sebuah pesta seringkali ada kekacauan. Karena demokrasi bukanlah pesta, melainkan ritual peradaban kebangsaan. Selayaknya ritual, ia merupakan peribadatan yang dijalani dengan khusyuk, penuh pengharapan, serta ketulusan dalam perbuatan dan kata. Ritual demokrasi diawali dengan pensucian jasmani dan rohani.”

Demokrasi bukan sekadar serangkaian prosedur politik, tetapi sebuah perjalanan spiritual dan kolektif untuk meraih cita-cita kebangsaan. Ia mengajarkan kita untuk mendengar dengan hati, bertindak dengan tulus, dan bertanggung jawab atas amanah yang diemban.

Dengan demikian, menjaga esensi politik dan demokrasi bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau elit politik, tetapi juga seluruh lapisan masyarakat. Demokrasi yang sejati membutuhkan partisipasi aktif, komitmen terhadap nilai-nilai moral, serta kesadaran akan pentingnya keadilan sosial.

Hanya dengan cara inilah demokrasi dapat berfungsi sebagai ritual peradaban yang membawa kemajuan, bukan sekadar formalitas yang kehilangan makna.

Semoga kita semua mampu menjaga nurani dan menjadikan politik sebagai bentuk pengabdian yang membawa kebaikan. Mari berjuang bersama untuk menciptakan bangsa yang adil, bermartabat, dan sejahtera. Karena sesungguhnya, politik yang benar adalah politik yang tidak kehilangan jiwa.

 

Salam sehat.

Oleh: Rani Yati Ngabalin

______________________________

*) Mahasiswa Magister Komunikasi Politik, Universitas Paramadina Jakarta, _Founder_ Perempuan Milenial Hebat (PULIH).

Achmad Fanani Rosyidi: Transmigrasi di Papua dan Tantangan Hak Asasi Manusia

Melanesiatimes.com – Rencana pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka untuk menghidupkan kembali program transmigrasi di Tanah Papua menuai kontroversi. Program ini, yang sebelumnya dihentikan pada 2008 melalui Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 15/2008, kini dicanangkan untuk dilaksanakan kembali dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan warga Papua. Menteri Transmigrasi, Muhammad Iftitah Sulaiman Suryanegara, menyampaikan dalam rapat dengar pendapat di Gedung DPR/MPR pada 29 Oktober 2024 bahwa transmigrasi bisa menjadi langkah untuk menyamakan tingkat kesejahteraan masyarakat Papua dengan wilayah barat Indonesia.

Namun, di tengah berbagai penolakan, Menteri Transmigrasi menyebutkan rencana ini lebih mengutamakan perpindahan lokal di antara wilayah Papua. “Di Papua, transmigrasi tidak harus selalu dari Jawa ke Papua,” jelasnya. Berikut ini adalah lima poin pandangan Achmad Fanani Rosyidi, seorang pengamat hak asasi manusia dan isu Papua, terkait rencana ini. Senin, (04/11/ 2024).

Mengulang Pola Lama yang Menimbulkan Masalah

Achmad Fanani menilai bahwa menghidupkan kembali transmigrasi di Papua merupakan langkah mundur yang cenderung mengulangi pendekatan pembangunan yang selama ini justru menimbulkan berbagai konflik. Kebijakan transmigrasi dinilai meningkatkan ketimpangan, memperkeruh konflik horizontal, serta mengancam keberadaan dan budaya masyarakat Orang Asli Papua (OAP). “Kebijakan ini malah berpotensi memperburuk ketimpangan dan rentan mengancam kelangsungan hidup OAP di tanah mereka sendiri,” ungkapnya.

Keraguan Atas Penerapan Transmigrasi Lokal

Meskipun pemerintah berencana mengutamakan transmigrasi lokal di Papua, Achmad meragukan implementasi kebijakan ini. Berdasarkan pengalaman selama puluhan tahun, transmigrasi di Papua lebih sering melibatkan pendatang dari luar daerah, terutama dari Pulau Jawa. Data Badan Pusat Statistik (BPS) dari 1971 hingga 2000 menunjukkan adanya perbedaan laju pertumbuhan penduduk yang signifikan, yaitu 1,84% untuk OAP dibandingkan dengan 10,82% bagi penduduk non-Papua.

Transmigrasi Sebagai Alat Kepentingan Elit

Achmad juga mengungkapkan kekhawatirannya bahwa transmigrasi di Papua kerap digunakan sebagai sarana untuk melancarkan proyek-proyek eksploitasi sumber daya alam, yang cenderung menguntungkan segelintir elit pemerintah dan pengusaha. Menurutnya, transmigrasi justru memperlebar ruang bagi aktor-aktor eksternal untuk mengambil alih sumber daya alam tanpa melibatkan masyarakat lokal sebagai bagian dari pembangunan yang berkelanjutan.

Aspirasi Masyarakat OAP yang Terabaikan

Rencana transmigrasi ini, menurut Achmad, lebih merepresentasikan suara elit pemerintahan pusat ketimbang suara asli dari masyarakat OAP. Banyak warga Papua menolak kebijakan ini karena dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi mereka. “Kebijakan ini seharusnya mencerminkan suara dari masyarakat Papua, bukan hanya keputusan sepihak dari pusat,” tambahnya.

Solusi Alternatif: Prioritaskan Peningkatan Kualitas Hidup

Achmad menegaskan bahwa sebaiknya pemerintah lebih berfokus pada solusi untuk meningkatkan indeks pembangunan manusia di Papua, yang masih berada di level terendah secara nasional. Pendidikan, kesehatan, perlindungan hak ulayat, pemberdayaan ekonomi, dan keterlibatan masyarakat lokal perlu menjadi prioritas utama dalam setiap program pembangunan di Papua. Pendekatan yang lebih inklusif dan dialogis dinilai akan jauh lebih efektif dalam mengatasi berbagai tantangan di Papua ketimbang kebijakan transmigrasi.

Rencana transmigrasi kembali di Papua menjadi sorotan publik. Para pengamat HAM dan masyarakat OAP berharap pemerintah mengevaluasi ulang kebijakan ini dan lebih mengedepankan program yang sesuai dengan kondisi sosial, budaya, dan aspirasi masyarakat setempat. Pembangunan yang melibatkan partisipasi aktif OAP diyakini akan lebih mendorong kemajuan dan kesejahteraan yang berkelanjutan di Papua.

Empat untuk ‘Empat Negeri’

Melanesiatimes.com – Angka empat merupakan angka kearifan. Angka empat merepresentasi banyak tanda: Pertama, anasir alam (air, udara, api, tanah; Kedua, penjuru mata angin (timur, barat, selatan, utara); Ketiga, sistem penunjuk arah bagi orang Moloku Kie Raha (ka lao, ka dara, ka atas, ka bawah); dan Keempat, empat negeri (Jailolo, Bacan, Tidore dan Ternate). Pun secara kebetulan, angka empat ini muncul sebagai sebuah angka magis di tahun politik 2024.

Pada level tertentu, misalnya, tampak pada bangunan-bangunan masjid tua kerap kita temui empat tiang penyangga yang berdiri kukuh di dalam masjid tersebut. Dalam ruang spiritual, terutama orang-orang Islam, empat tiang tersebut adalah simbol para sahabat Baginda Rasulullah SAW, yakni: sayyidina Abubakar, sayyidina Umar, sayyidina Utsman dan sayyidina Ali.

Bagi saya, ‘raha’ atau empat adalah simbol tentang keragaman masyarakat Moloku Kie Raha (empat negeri Maluku) itu sendiri yang telah eksis dan menyejarah sebagai modalitas torang untuk terus merawat dan menjalani kehidupan bersama (living together) selama ini.

Dalam ‘ritus’ demokrasi lima tahunan 2024 kali ini, Benny-Sarbin yang notabene sebagai satu di antara empat paslon kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Maluku Utara, secara kebetulan mendapatkan namor urut: empat. Ini tentu seperti sebuah tanda mestakung (semesta mendukung).

Ada sebuah keyakinan yang senantiasa mewujud dalam batin bahwa ikhtiar untuk membangun dan menjaga negeri ini dari segala bentuk kezaliman dimulai dari membaca tanda-tanda alam yang menyertai. Dan angka empat bukan tidak mugkin menjadi penanda permulaan yang baik.

Syahdan, angka empat adalah angka yang merangkul semua angka di depannya (satu, dua dan tiga). Maka ketika kelak pada hari H pemilihan, tatacara sederhana untuk memilih paslon Benny-Sarbin ialah: satu tetapkan niat, dua buka kertas suara, tiga pilih paslon, coblos nomor empat. Sudah. Sesederhana itu.

Salam empat jari untuk empat negeri.

Oleh Yana Mustika (Koordinator Kajian Stratejik Gen Muda Bela Malut)

#4ForMolokuKieRaha

#2024PilihNomor4 #BersamaMalutBangkit #GenMudaBelaMalut 🔥

Urgensi Reshuffle Kabinet di Akhir Periode

Melanesiatimes.com – Ramai beredar isu bahwasanya akan ada reshuffle kabinet, terutama di penghujung masa jabatan, seringkali menjadi sorotan publik. Langkah politik ini tidak hanya melibatkan perombakan susunan kabinet, tetapi juga memiliki implikasi yang luas terhadap arah kebijakan pemerintahan. Lantas, mengapa reshuffle kabinet di akhir periode dianggap begitu penting?

Mempercepat Pencapaian Target

Salah satu alasan utama adalah untuk memastikan target-target pembangunan yang telah ditetapkan dapat tercapai dengan lebih efektif. Di akhir periode, biasanya masih ada sejumlah program dan proyek yang belum selesai. Dengan melakukan reshuffle, diharapkan dapat diperoleh tenaga-tenaga baru yang memiliki energi dan semangat lebih untuk menyelesaikan tugas-tugas tersebut. Selain itu, pergantian menteri juga dapat membawa perspektif baru yang segar dalam merumuskan strategi pencapaian target.

Menyegarkan Birokrasi

Birokrasi yang sudah berjalan dalam waktu yang lama cenderung mengalami stagnasi. Rotasi pejabat dapat menjadi salah satu cara untuk menyegarkan birokrasi dan meningkatkan efisiensi kerja. Pejabat baru diharapkan dapat membawa angin segar dan ide-ide inovatif yang dapat meningkatkan kinerja pemerintahan.

Menanggapi Dinamika Politik

Dinamika politik yang terus berubah juga menjadi faktor yang dapat mendorong terjadinya reshuffle kabinet. Perubahan konstelasi politik, baik di tingkat nasional maupun daerah, dapat mempengaruhi stabilitas pemerintahan. Reshuffle kabinet dapat menjadi salah satu cara untuk menyesuaikan komposisi kabinet dengan dinamika politik yang ada.

Memperkuat Legitimasi Politik

Reshuffle kabinet juga dapat menjadi upaya untuk memperkuat legitimasi politik pemerintahan. Dengan menempatkan figur-figur yang populer atau memiliki kompetensi yang diakui di posisi strategis, diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintahan.

Mempersiapkan Regenerasi

Di akhir periode, pemerintahan juga perlu memikirkan regenerasi kepemimpinan. Dengan memberikan kesempatan kepada kader-kader muda untuk menduduki posisi strategis di kabinet, diharapkan dapat mempersiapkan generasi penerus yang memiliki kapasitas untuk melanjutkan kepemimpinan.

Namun, reshuffle kabinet juga memiliki sejumlah risiko, di antaranya:

Ketidakstabilan politik: Reshuffle yang terlalu sering dapat menimbulkan ketidakstabilan politik dan mengganggu jalannya roda pemerintahan.

Kehilangan momentum: Pergantian pejabat dapat menyebabkan terhentinya sejumlah program yang sedang berjalan dan memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri.

Konflik internal: Reshuffle dapat memicu konflik internal di dalam partai politik koalisi.

Reshuffle kabinet di akhir periode merupakan langkah politik yang kompleks dan memiliki konsekuensi yang luas. Keputusan untuk melakukan reshuffle haruslah didasarkan pada pertimbangan yang matang dan mempertimbangkan berbagai faktor, baik politik, ekonomi, maupun sosial. Tujuan utama dari reshuffle adalah untuk memastikan keberlangsungan pemerintahan yang baik dan tercapainya tujuan-tujuan pembangunan nasional.

Gen Z Paling Rentan Mengalami Stress?? Yuk Kenali Penyebab dan Temukan Cara Mengelolanya!

Penulis : Nita Fitriana (Dosen STIE Widya Wiwaha Yogyakarta).

Melanesiatimes.com – Istilah generasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merujuk pada sekumpulan orang yang kira-kira sama waktu hidupnya (KBBI, 2023). Kata generasi dapat digunakan untuk mendsikripsikan kelompok orang yang lahir dalam rentang waktu tertentu, dengan ciri-ciri sosial, budaya, dan teknologi yang serupa. Oleh karenanya seringkali adanya perbedaan generasi ini berdampak pada perbedaan pengalaman dan perspektif terhadap suatu hal yang sama.

Badan Pusat Statistik (BPS) mengelompokkan penduduk Indonesia dalam enam generasi, yaitu Post Generasi Z (Post Gen Z), Generasi Z (Gen Z), Milenial, Generasi X (Gen X), Baby Boomer, dan Pre-Boomer. Berdasarkan sensus penduduk 2020, dari keenam generasi tersebut, generasi Z (gen Z) merupakan generasi terbanyak jumlahnya jika dibandingkan generasi lain (BPS, n.d.). Data dari KPU juga menyebutkan bahwa pemilih pada pemilu 2024 didominasi oleh Generasi Z dan Milenial sebanyak 55% dari total pemilih yang ada di Indonesia (KPU, n.d.).

Dilihat dari waktu, mereka yang termasuk Generasi Z adalah yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012 di mana itu merupakan era teknologi dan digital (RRI, n.d.). Sebagai konsekuensi dari generasi pertama yang tumbuh dan berkembang dengan teknologi digital, berbagai perubahan dan tantangan dialami oleh generasi ini. Walaupun gen Z diidentikkan sebagai generasi unik yang lebih toleran, adaptif dan inovatif, tidak sedikit dan tidak jarang mereka juga mengalami tekanan dan stress yang tidak boleh diabaikan. Tulisan ini akan mengulas tentang pengertian stress, berbagai kasus stress yang pernah dialami oleh gen Z, penyebab utama terjadinya stress dan cara untuk mengelola stress khususnya bagi gen Z.

Pada dasarnya, tidak ada definisi yang pasti untuk stress. Hal tersebut dikarenakan setiap individu akan memiliki reaksi yang berbeda terhadap stres yang sama. Stres bersifat merusak bila tidak adanya keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan beban stres yang dirasakan. Stress pada Gen Z telah menjadi isu yang semakin mendapat perhatian dalam beberapa tahun terakhir.

Berbagai hasil riset menunjukkan bahwa jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya, Gen Z memiliki tingkat stres yang lebih tinggi (The American Psychological Association (APA), 2018); (Rindu et al., 2024); (Deloitte, 2023). Jumlah dan tingkat stress gen Z ini diantaranya dapat dilihat dari peningkatan jumlah Gen Z yang mencari bantuan psikologis dan meningkatnya kesadaran mereka akan pentingnya kesehatan mental. Banyak faktor yang memicu terjadinya stress pada gen Z.

Dirangkum dari berbagai sumber, berikut adalah faktor-faktor penyebab terjadinya stress pada gen Z:

1. Media Sosial

Salah satu identitas dari Gen Z adalah selalu terhubung dengan teknologi dan media sosial hampir di semua aktifitasnya. Namun, dengan cara beraktifitas seperti itu, justru Gen Z rentan mengalami stress. Hasil Survei dari McKinsey Health Institute (MHI’s) pada tahun 2023 kepada lebih dari 42.000 responden dari 26 negara termasuk Indonesia, menunjukkan bahwa penyebab utama generasi Z lebih stres dibandingkan generasi lainnya adalah hubungan mereka dengan media sosial (Coe, Doy, Enomoto, & Healy, 2023). Generasi Z cenderung mengungkapkan perasaan negatif terhadap media sosial. Oleh karenanya tingkat intensitas yang tinggi dalam bermedia sosial memungkinkan munculnya perbandingan sosial yang tidak sehat, cyberbullying peningkatan tingkat kecemasan dan depresi, khususnya bagi Gen Z.

2. Akademik

Tuntutan akademik baik di sekolah formal maupun non formal, tuntutan untuk berprestasi dari keluaraga, dan rasa minder dengan pencapaian teman adalah diantara penyebab stress yang dialami oleh Gen Z. Beberapa penelitian lain juga menunjukkan bahwa dari berbagai sumber stres, tuntutan dan tekanan akademik adalah sumber utama penyebabnya stres gen Z (Ramachandiran & Dhanapal, 2018); (Elvika & Tanjung, 2023). Stres tersebut membuat gen Z mengalami tidak nafsu makan. sakit kepala sampai dengan‘sleep disorder’ atau gangguan tidur (Ramachandiran & Dhanapal, 2018).

3. Ketidakpastian Pekerjaan

Faktor lain yang menyebabkan stress bagi Generasi Z adalah ketidakapastian pekerjaan. Bonus demografi dan dunia kerja yang kompetitif sering membuat Gen Z merasa tidak aman tentang prospek pekerjaan jangka panjang. Studi menunjukkan bahwa ketidakpastian pekerjaan dapat meningkatkan tingkat stres dan kecemasan di kalangan pekerja muda (Jiang, Di, & Tang, 2019).

4. Finansial

Permasalahan finansial bukanlah menjadi faktor utama terjadinya stress bagi gen Z, namun menjadi salah satu faktor pendukung terjadinya stres. Hasil penelitian dari Deloitte menyebutkan bahwa gen Z kerap dilanda stres dan kecemasan yang berlangsung sepanjang waktu dengan penyebab utamanya adalah kekhawatiran akan kondisi keuangan baik jangka pendek maupun jangka Panjang (Deloitte, 2023). Tidak sedikit Generasi Z merasa sulit untuk mencapai stabilitas keuangan dikarenakan menghadapi biaya dan gaya hidup yang tinggi namun gaji yang stagnan, yang menyulitkan mereka untuk mencapai tujuan keuangan mereka.

5. Hubungan personal

Hubungan personal yang mempengaruhi tingkat stres generasi Z ini mencakup hubungan dengan keluarga dan pasangan. Konflik dalam keluarga, baik dengan orang tua, saudara, atau anggota keluarga lainnya, merupakan faktor stres yang signifikan bagi Generasi Z. Studi menunjukkan bahwa konflik keluarga dapat meningkatkan risiko stres dan masalah kesehatan mental lainnya (Kelly, 2012).

Selain konflik keluarga, konflik dengan pasangan juga dapat menjadi sumber stres bagi Generasi Z. Ketidakpastian dalam hubungan, tekanan untuk menemukan pasangan yang cocok, hubungan dengan jarak jauh (Long Distance Relationship) dapat menyebabkan stres emosional yang signifikan. Penelitian menunjukkan bahwa tantangan dalam hubungan romantis dapat berdampak negatif pada kesehatan mental dan meningkatkan tingkat stres (Rhoades, Kamp Dush, Atkins, Stanley, & Markman, 2011).

Tips mengelola stress ala Gen Z

1. Identifikasi penyebab stress

Sederhananya adalah, kenali penyakitanya, maka akan lebih mudah untuk mengobatinya. Dengan memahami penyebab-penyebab terjadinya stres, akan memudahkan Generasi Z untuk menentukan strategi yang digunakan untuk mengelola stres secara tepat.

2. Lakukan Hobi

Melibatkan diri dalam aktivitas yang disukai dapat memberikan berbagai manfaat psikologis dan emosional yang membantu mengurangi stres. Melakukan hobi dapat membantu Gen Z mengalihkan perhatian dari sumber-sumber stress, meningkatkan mood dan memberikan kebebasan untuk mengatur waktu dan aktivitas sesuai dengan keinginan mereka. Hasil penelitian menyebutkan bahwa terlibat dalam aktivitas yang menyenangkan dapat mengurangi gejala stres dan kecemasan (Pressman et al., 2009)

3. Tingkatkan Ibadah

Sebagai manusia beragama dan percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, salah satu cara efektif untuk mengelola stres adalah dengan meningkatkan ibadah. Ada istilah yang hampir sama dengan ibadah yang merujuk pada aktifitas yang memberikan rasa tenang dan damai yaitu meditasi. Ibadah dan meditasi dapat membantu Gen Z mencapai perasaan tenang dan damai. Praktik-praktik ini memungkinkan mereka untuk fokus pada momen saat ini dan mengurangi kecemasan yang berhubungan dengan masa depan atau masa lalu. Penelitian menunjukkan bahwa praktik spiritual dan meditasi dapat mengurangi tingkat stres dan kecemasan (Goyal et al., 2014).

4. Konsultasi Pada Ahli

Salah satu cara efektif untuk mengelola stres adalah dengan mencari bantuan dari ahli kesehatan mental, seperti psikolog, konselor, atau terapis. Konsultasi dengan ahli dapat memberikan panduan yang tepat dan dukungan emosional yang diperlukan untuk mengatasi stres. Jangan pernah ragu atau bahkan malu untuk berkonsultasi kepada ahli.

Berbagai keadaan yang dihadapi oleh Gen Z, dapat memicu stress. Namun dengan cara yang tepat, mereka dapat mengelola dan mengurangi dampak negatif dari stres tersebut. Dukungan dari keluarga, teman, dan komunitas juga memainkan peran penting dalam membantu mereka mengatasi tekanan yang mereka hadapi.

 

Perempuan Fagogoru

Penulis : Yana Mustika (Akademisi Universitas Pertiwi)

Dalam rentang kesejarahannya, perihal posisi atau peran publik perempuan sebagai seorang pemimpin politik, sebutlah selaku kepala negara, kepala daerah atau ketua partai politik, dll., adalah sesuatu yang lazim. Setidaknya di negeri ini.

Dinamika kehidupan demokrasi sejak beberapa dekade silam telah menempatkan para pemimpin perempuan di berbagai negara, atau setidaknya di berbagai daerah di Indonesia, dengan segala rekam jejak kepemimpinannya. Terurama dalam konteks kepemimpinan politik.

Sederet nama besar seperti Margaret Thatcher, Indira Gandhi, Benazir Bhutto, Angela Merkel, Megawati Sukarnoputri atau Halima Yacob, dst., yang tidak sempat saya sebutkan satu per satu itu, menurut hemat saya, adalah preseden tentang betapa eksisnya perempuan pada level kepemimpinan politik.

Bahkan pada diskursus tentang praksis demokrasi itu pula, Amerika Serikat (AS) yang notabene dikenal sebagai “kiblat” atau corongnya demokrasi di dunia saat ini, belum berhasil menempatkan seorang perempuan sebagai kepala negaranya hingga saat ini sejak merdeka pada 1700-an. Baru dalam pemilu di AS periode sebelumnya, Hillary Clinton muncul sebagai salah satu kompetitor sebagai calon presiden, tapi gagal.

Hal tersebut jika dibandingkan dengan Indonesia, misalnya, dengan kadar atau kualitas demokrasinya yang, boleh diakui, masih jauh panggang dari api dengan kualitas demokrasi negara “kiblat” demokrasi (baca: AS) itu, tapi sejarah mencatat bahwa seorang perempuan bernama Megawati Sukarnoputri pernah didapuk dan diakui menjadi seorang presiden perempuan pertama RI. Meskipun ketika itu belum melalui mekanisme pemilu.

Berangkat dari kenyataan tersebut, menurut saya, ada yang penting untuk dicermati dalam dinamika kehidupan berdemokrasi kita sejauh ini. Tidak bisa dimungkiri bahwa salah satu elemen vital yang membentuk watak keberdemokrasian kita ialah nilai-nilai tradisi atau kearifan (local values) yang hidup dan dilakoni oleh masyarakat kita saat ini. Nilai-nilai sebagai basis filosofis, sosial, kultural, yang menjunjung tinggi hak setiap orang (perempuan dan laki-laki) untuk dipilih atau diamanahkan mengemban tanggung jawab sebagai pemimpin publik.

Di Maluku Utara, sebagai misal, tepatnya di Halmahera Tengah, terdapat pula nilai-nilai kearifan yang hidup dalam sebuah komunitas masyarakat Fagogoru. Penyebutan fagogoru tersebut sekaligus sebagai sebutan bagi tatanan nilai-nilai kearifan itu sendiri. Sebagai insider (orang Moloku Kie Raha/Maluku Utara, tepatnya orang Tidore), saya hanya sekadar tau bahwa komunitas Fagogoru itu terdiri dari “tiga kampung/negeri” atau Pnu Pitel, yaitu: Were (Weda), Poton (Pattani) dan Mobon (Maba). Ketiga kampung ini oleh Kesultanan Tidore kemudian disebut: Gamrange.

Catatan sederhana ini tentu tidak saya maksudkan untuk menelaah secara filosofis mengenai Fagogoru. Tapi sebagai sebuah penanda tentang eksistensi nilai-nilai tradisi yang inklusif, terutama terkait peran atau posisi kepemimpinan perempuan, maka catatan ini hanya dimungkinkan untuk menyoroti perihal itu (baca: kepemimpinan politik perempuan).

Dari sekian perempuan Fagogoru dengan segala rekam jejak politiknya sejauh ini, saya hendak menyebut Nurhayati Rais (ayunda Yati) sebagai prototipe pemimpin politik perempuan Fagogoru yang representatif untuk dipertimbangkan menjadi salah satu figur perempuan yang layak dalam perhelatan kontestasi pilkada di Halmahera Tengah nanti.

Tentu, tanpa maksud dan upaya glorifikasi terhadap sosok perempuan yang saya sebutkan itu. Tapi dengan rekam jejak yang baik, visi memimpin yang futuristik, memiliki akar ke-fagogoru-an yang kuat, modal jaringan serta komunikasi politik yang mumpuni, saya sangat berkeyakinan jika beliau akan mampu membawa Kabupaten Halmahera Tengah jauh lebih baik.

Sebagai seorang perempuan Maluku Utara, dengan mencermati kenyataan bahwa sangat jarang sekali perempuan Maluku Utara yang muncul ke permukaan berkontestasi dari pemilu ke pemilu dan menang sebagai seorang gubernur, walikota atau bupati, maka bukan tanpa alasan penilaian obyektif saya terhadap perempuan Fagogoru seperti ayunda Yati adalah benar-benar berdasarkan faktor kesadaran saya.

Dari sekian pemimpin daerah di Maluku Utara hingga saat ini, baru di Kabupaten Kepulauan Sula yang secara demokratis melahirkan pemimpin daerah (bupati) perempuan. Saya berharap, semoga bermunculan lagi para bupati/wakil bupati, walikota/walikota atau gubernur/wakil gubernur perempuan lain di Maluku Utara pasca pilkada besok. Semoga!

#NR4Halteng