Search

Top yang sering dicari:

1. #Di
2. #Dir
3. #Dird

Pelantikan Ketua dan Wakil DPR Kota Sorong Periode 2024–2029 

Melanesiatimes.com, Kota Sorong — Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Kota Sorong resmi melantik pimpinan baru masa jabatan 2024–2029 dalam sebuah upacara pengucapan sumpah dan janji yang berlangsung khidmat di ruang sidang kantor DPR Kota Sorong, Jumat (10/10/2025).

Ketua DPR Kota Sorong yang dilantik adalah John E. Lewerissa, sementara posisi Wakil Ketua dijabat oleh Robert E. Malaseme. Prosesi pelantikan dipimpin langsung oleh Ketua Pengadilan Negeri Kota Sorong dan disaksikan oleh berbagai unsur pimpinan daerah.

Hadir dalam acara tersebut Gubernur Papua Barat Daya yang diwakili oleh Sekretaris Daerah Yakob Kareth, Wali Kota Sorong Septinus Lobat, Wakapolda Papua Barat Daya, serta unsur Forkopimda, anggota DPR Provinsi dan Kota, pimpinan OPD, KPU dan Bawaslu Kota Sorong, serta para tokoh adat, agama, pemuda, dan perempuan.

Pelantikan ini menjadi momentum penting bagi DPR Kota Sorong dalam menjalankan amanah rakyat untuk lima tahun ke depan. Suasana khidmat dan penuh semangat kebersamaan mewarnai jalannya acara, sebagai bentuk komitmen baru dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik.

Dalam sambutannya, Ketua DPR Kota Sorong, Jhon E. Lewarissa, menyampaikan apresiasi dan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan dalam kelancaran proses hingga pelantikan, termasuk kepada Wali Kota Sorong, TNI-Polri, serta Sekretariat DPR yang telah bekerja keras sejak tahap awal.

“Kami berterima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung. Mari bersama-sama membangun Kota Sorong dengan semangat tanggung jawab dan pengabdian,” ujar Lewerissa.

Ia juga mengingatkan seluruh anggota DPR agar menjalankan tugas dengan integritas dan ketulusan. “Lakukanlah kewajiban kita tanpa mencari untung atau rugi. Jika bukan kita yang merasakan manfaatnya, maka anak cucu kitalah yang akan menuai hasil dari kerja kita hari ini,” tegasnya.

Sementara itu, Wali Kota Sorong Septinus Lobat menyampaikan ucapan selamat kepada pimpinan DPR yang baru dilantik dan berharap sinergitas antara eksekutif dan legislatif semakin kuat demi kepentingan masyarakat.

Pelantikan pimpinan DPR Kota Sorong periode 2024–2029 ini menjadi tonggak baru dalam perjalanan demokrasi lokal di Papua Barat Daya, dengan harapan besar untuk menghadirkan perubahan nyata bagi kemajuan daerah dan kesejahteraan rakyat.

Pemkot Sorong Bersama Asosiasi Pedagang Pasar Bahas Target Pembangunan Pasar Remu Awal Tahun 2026

Melanesiatimes.comKota Sorong — Pemerintah Kota Sorong melalui Wakil Wali Kota Anshar Karim menggelar rapat koordinasi bersama organisasi pedagang dan sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) membahas penyamaan data serta persepsi terkait rencana relokasi dan pembangunan Pasar Sentral Remu. Kamis (09/10/2025).

Rapat yang berlangsung di Kantor Pemerintah Kota Sorong itu turut dihadiri oleh perwakilan organisasi pedagang, di antaranya Ketua Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI), Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI), Asosiasi Pedagang Kaki Lima (ASPKLI), dan Himpunan Pedagang Kaki Lima Pasar Sentral (HIPKI), Syarif Nari.

Selain itu, hadir pula perwakilan dari pedagang pertokoan yang tergabung dalam Asosiasi Pedagang Pasar Sentral (APPS) di bawah pimpinan Ahmad Yani. Pertemuan ini menjadi langkah awal penyelarasan data antara pedagang pertokoan dan pedagang kaki lima menjelang proses pembangunan pasar.

Syarif Nari, yang juga merupakan anggota DPRK Sorong, menjelaskan bahwa rapat tersebut bertujuan untuk menyamakan pandangan antara pedagang dan pemerintah agar proses pembangunan dapat berjalan lancar dan tertib. “Kita ingin ada kesamaan persepsi dulu sebelum melangkah ke tahap berikutnya,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa Pasar Sentral Remu akan dibangun secara keseluruhan di atas lahan seluas 2,6 hektar. Dalam prosesnya, seluruh pedagang baik pedagang kaki lima maupun pedagang pertokoan akan direlokasi ke tempat sementara.

Berdasarkan data sementara yang dihimpun oleh para pedagang, jumlah pedagang kaki lima mencapai sekitar 1.878 orang, sementara pedagang pertokoan sebanyak 1.229 orang. Data ini akan menjadi acuan bagi pihak ketiga dalam mendesain bangunan pasar yang baru.

Syarif menuturkan bahwa setelah seluruh pihak memiliki kesamaan data dan pandangan, akan dilakukan penandatanganan berita acara sebagai dasar pelaksanaan pembangunan. “Target pembangunan pasar dimulai pada bulan Januari 2026,” katanya.

Terkait anggaran, ia menjelaskan bahwa Pemerintah Kota Sorong bersama DPRK Sorong telah membahas rencana pembangunan tersebut dalam APBD Perubahan. “Sekarang tinggal menunggu persetujuan bersama sebelum pelaksanaan pembangunan dimulai,” tambahnya.

Dalam rencana teknis, seluruh bangunan lama di kawasan pasar baik berukuran 1×2, 2×3, maupun 4×4 meter akan dibongkar total. Selama masa pembangunan, aktivitas jual beli akan dihentikan sementara, dan seluruh pedagang akan direlokasi agar proyek berjalan tanpa hambatan.

Syarif menargetkan proses pembangunan dapat rampung dalam waktu satu tahun. Saat ini, pemerintah dan DPRK Sorong masih mencari lokasi yang tepat untuk penampungan sementara bagi pedagang kaki lima dan pedagang pertokoan.

Ia juga mengimbau seluruh pedagang agar mendukung program pemerintah demi kemajuan bersama. “Kami berharap para pedagang bisa mendukung pembangunan ini, karena tujuannya untuk meningkatkan kenyamanan dan kesejahteraan masyarakat Kota Sorong,” tuturnya.

Pemerintah Kota Sorong menegaskan bahwa pembangunan Pasar Sentral Remu merupakan salah satu prioritas strategis daerah untuk menata kembali sektor perdagangan rakyat agar lebih tertib, modern, dan representatif bagi seluruh pelaku usaha di wilayah tersebut.

Yayasan At-Taubah Peduli Sorong Griya Lansia Terus Layani Lansia Tanpa Gaji

Melanesiatimes.comKota Sorong Papua Barat Daya — Di tengah keterbatasan dan tanpa dukungan finansial tetap, Yayasan At-Taubah Peduli Sorong Griya Lansia Papua Barat Daya terus menunjukkan komitmennya dalam menjalankan misi sosial kemanusiaan. Lembaga ini tetap konsisten merawat para lanjut usia (lansia) terlantar tanpa pamrih, menjadi tumpuan harapan bagi mereka yang tidak lagi memiliki keluarga untuk bersandar. Kamis (09/10/2025).

Ketua Yayasan At-Taubah Peduli Sorong Griya Lansia, Edi Purnomo Golap, mengungkapkan bahwa hingga kini sudah banyak lansia yang pernah dirawat di yayasan tersebut dan sebagian telah dipulangkan kepada keluarganya. Saat ini, terdapat 14 lansia yang masih dalam perawatan, terdiri dari 11 orang muslim, 2 orang Katolik, dan 1 orang Protestan. Mereka semuanya adalah lansia yang benar-benar terlantar dan tidak lagi mendapatkan perhatian dari keluarganya.

Edi menegaskan bahwa Yayasan At-Taubah membuka pintu bagi siapa saja tanpa memandang agama, suku, atau latar belakang etnis. “Di sini siapa saja boleh masuk, asalkan benar-benar terlantar dan tidak diurus oleh keluarganya. Kami tidak membeda-bedakan asal-usul, semua kami layani dengan hati,” ujarnya. Bahkan, katanya, terdapat satu penghuni yang juga merupakan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang turut dirawat secara penuh kasih.

Menurut Edi, apa yang dilakukan oleh Yayasan At-Taubah pada dasarnya adalah bentuk dukungan kepada pemerintah daerah, khususnya dalam menangani permasalahan sosial di masyarakat. “Kami hanya membantu pemerintah daerah, karena sejatinya ini adalah tanggung jawab Dinas Sosial,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa pihaknya rutin berkoordinasi dengan Dinas Sosial Kota Sorong dan Provinsi Papua Barat Daya terkait kebutuhan administrasi seperti pembuatan Kartu Indonesia Sehat (KIS) bagi para lansia.

Namun demikian, Edi menyayangkan bahwa hingga saat ini belum ada respon terhadap proposal anggaran yang telah mereka ajukan kepada pemerintah daerah. “Kami sudah mengajukan proposal untuk dukungan dana, tetapi sampai sekarang belum ada jawaban,” keluhnya. Kondisi tersebut membuat operasional yayasan berjalan seadanya, mengandalkan donasi dari masyarakat dan relawan.

Lebih lanjut, Edi menjelaskan bahwa seluruh pengurus yayasan bekerja tanpa gaji tetap. Mereka melayani dengan niat tulus dan semangat kemanusiaan. “Kami di sini tidak ada gaji. Kalau ada donasi, kami berikan kepada petugas cleaning service, juru masak, atau admin. Jumlahnya pun bervariasi, ada yang hanya mendapat Rp500 ribu hingga Rp1 juta per bulan,” ungkapnya.

Meski dengan segala keterbatasan, Yayasan At-Taubah terus berupaya memenuhi kebutuhan dasar para lansia. Mulai dari sabun, pampers, bedak, minyak angin, hingga sembako untuk kebutuhan makan tiga kali sehari. Semua kebutuhan tersebut sebagian besar diperoleh dari sumbangan masyarakat yang peduli.

“Kebutuhan harian cukup banyak, tapi kami berusaha semampu kami. Yang penting para lansia bisa makan dengan layak dan dirawat dengan penuh kasih,” tambah Edi. Ia juga mengakui bahwa semangat para relawan menjadi kekuatan utama yang membuat yayasan ini tetap berjalan.

Edi berharap agar pemerintah kota maupun provinsi dapat memberikan perhatian dan bantuan kepada Yayasan At-Taubah. “Kami hanya bekerja sebagai relawan, bukan tenaga kerja. Semoga pemerintah bisa melihat perjuangan kami dan membantu sedikit saja agar para lansia ini bisa hidup lebih layak,” harap KetuaYayasan At-Taubah Peduli Sorong Griya Lansia Papua Barat Daya, Edi Purnomo Golap.

 

Usai Banjir BWS Papua Barat Tunjukkan Aksi Cepat Perbaiki Talut Sungai Mariat

Melanesiatimes.comKota Sorong – Balai Wilayah Sungai (BWS) Papua Barat Daya bergerak cepat menindaklanjuti dampak banjir yang sempat melanda wilayah Kabupaten Sorong beberapa waktu lalu. Setelah banjir merusak sebagian talut di aliran Sungai Mariat, BWS langsung menurunkan tim untuk melakukan perbaikan dan pemeliharaan agar kondisi sungai kembali aman dan berfungsi dengan baik.

Kepala BWS Papua Barat, Wempi Nauw, mengatakan bahwa langkah cepat ini merupakan bentuk tanggung jawab dan komitmen pihaknya dalam menjaga infrastruktur sumber daya air di wilayah Papua Barat Daya. Menurutnya, kerusakan talut akibat bencana alam harus segera ditangani agar tidak berdampak lebih luas terhadap permukiman warga di sekitar bantaran sungai.

“Kami tidak ingin menunggu terlalu lama. Setelah melakukan survei dan evaluasi di lapangan, kami langsung menurunkan tim teknis untuk melakukan perbaikan talut Sungai Mariat,” ujar Wempi Nauw pada Rabu (8/10/2025).

Ia menjelaskan, pemeliharaan ini mencakup penguatan struktur talut yang sempat longsor akibat derasnya arus air saat banjir melanda. Selain itu, dilakukan pula normalisasi di beberapa titik aliran sungai agar kapasitas tampung air meningkat dan risiko banjir di masa mendatang bisa diminimalisir.

Tim teknis BWS Papua Barat langsung menurunkan alat dalam proses perbaikan. Hal ini dinilai penting untuk mempercepat pekerjaan sekaligus memastikan masyarakat memahami pentingnya menjaga kebersihan dan ketertiban di sekitar sungai.

Selain perbaikan fisik, BWS Papua Barat juga berencana melakukan sosialisasi tentang pentingnya menjaga kawasan sempadan sungai agar tidak dijadikan tempat pembuangan sampah maupun lokasi bangunan liar yang berpotensi menghambat aliran air.

Dengan adanya langkah tanggap ini, diharapkan kondisi Sungai Mariat dapat kembali stabil dan berfungsi optimal sebagai penyalur air serta penyangga ekosistem wilayah sekitar.

BWS Papua Barat Daya berkomitmen untuk terus memastikan bahwa seluruh infrastruktur pengendali banjir tetap terjaga dan dapat melindungi masyarakat dari ancaman bencana serupa di masa depan.

Ketua Yayasan At-Taubah Peduli Sorong Griya Lansia Apresiasi Kehadiran Ketua BKOW PBD

Melanesiatimes.comKota Sorong – Ketua Yayasan At-Taubah Peduli Sorong Griya Lansia, Edi Purnomo Golap, menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada Wakil Gubernur Papua Barat Daya, Idah Prianti Nausrau, bersama jajaran Badan Kerja Sama Organisasi Wanita (BKOW) Papua Barat Daya atas kunjungan mereka ke Griya Lansia At Taubah pada Jumat (03/10/2025).

Kunjungan tersebut menjadi bentuk kepedulian dan perhatian Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya terhadap keberadaan para lansia yang menjadi penghuni yayasan tersebut. Dalam kesempatan itu, Ibu Wakil Gubernur Idah Prianti Nausrau bersama rombongan BKOW meninjau langsung kondisi serta aktivitas para lansia di yayasan.

Selain silaturahmi, kunjungan itu juga diwarnai dengan penyerahan bantuan sosial berupa paket sembako dan dana operasional yang diserahkan langsung oleh Ketua BKOW Papua Barat Daya kepada pengurus yayasan At-Taubah Peduli Sorong Griya Lansia. Bantuan tersebut diharapkan dapat membantu pemenuhan kebutuhan harian para lansia di Yayasan tersebut.

Ketua At-Taubah Peduli Sorong Griya Lansia, Edi Purnomo Golap, menyebut kunjungan dan bantuan tersebut menjadi bentuk nyata perhatian pemerintah daerah terhadap kelompok rentan, khususnya para lansia. Ia menilai hal ini sebagai wujud sinergi yang patut dicontoh antara pemerintah dan lembaga sosial dalam menumbuhkan semangat kepedulian di masyarakat.

“Terima kasih kepada Ibu Wakil Gubernur dan BKOW Papua Barat Daya atas perhatian dan bantuan yang diberikan. Ini sangat berarti bagi kami dan para penghuni lansia,” ujar Edi Purnomo Golap

Sementara itu, Ibu Wakil Gubernur Idah Prianti Nausrau menegaskan bahwa kunjungan tersebut merupakan bagian dari kegiatan sosial BKOW yang bertujuan memperkuat tali silaturahmi serta memastikan bahwa para lansia di yayasan At-Taubah Peduli Sorong Griya Lansia mendapatkan perhatian yang layak.

Ia berharap dukungan semacam ini tidak berhenti sampai di sini, melainkan terus berlanjut melalui kolaborasi antara pemerintah, lembaga sosial, dan masyarakat dalam memberikan perhatian terhadap kaum lanjut usia.

Suasana hangat dan penuh kebersamaan mewarnai kunjungan tersebut. Para lansia tampak bahagia dan bersemangat menerima kedatangan rombongan BKOW dan Ibu Wakil Gubernur Papua Barat Daya, yang disambut dengan ungkapan syukur atas kepedulian yang diberikan.

Hasil Bahtsul Masail PCNU Jakbar : Bela Tanah Air Wajib, Patuh Hukum Negara Boleh Sepanjang Tak Ada Kemaksiatan

Melanesiatimes.com – Pengamat Politik Timur Tengah, Muhammad Najih Arromadloni alias Gus Najih menyampaikan apresiasi atas terselenggaranya bahtsul masail yang diselenggarakan oleh PCNU Jakarta Barat bersama Rumah Wasathiyah.

“Bahtsul Masail ini adalah program Rumah Wasathiyah yang dimaksudkan untuk meneguhkan tradisi keilmuan,” kata Gus Najih dalam paparannya di acara yang diselenggarakan di Masjid Raya KH Hasyim Asyari, Jakarta Barat, Rabu (1/10/2025).

Kajian keilmuan ini penting sekali menurut Gus Najih, sebab kunci beragama yang baik dan benar harus disertai dengan ilmu yang memadai.

“Karena ilmu adalah prasyarat utama dalam beragama. Tanpa ilmu, beragama justru akan mendatangkan mudarat, bukan manfaat,” ujarnya.

Oleh sebab itu, forum-forum kajian keilmuan Islam semacam ini perlu rutin dilakukan dalam rangka mencapai Islam yang wasathiyah.

“Diskusi keilmuan juga penting selalu dilakukan karena kompleksitas masalah saat ini banyak yang tidak tercantum dalam Quran dan hadis, sehingga perlu ijtihad untuk merumuskannya,” tuturnya.

“Kegiatan ini adalah bagian dari ijtihad untuk merumuskan sikap dan kemantapan hati,” sanbung Gus Najih.

Dalam forum bertemakan “Hukum Positif dalam Pandangan Islam” tersebut dihadiri sejumlah tokoh agama dan cendekiawan muslim. Antara lain ; Ustadz Para Wijayanto, Ustadz Aslam, Ustadz Imtihan Syafi’i, Ustadz Ade Muhammad Aziz, Prof. JM Muslimin, KH Ulil Abshar Abdalla alias Gus Ulil, dan KH. Abdurrahman Sholeh.

Diterangkan Prof JM Muslimin memberikan paparan soal konsep ketatanegaraan dengan dalil “barangsiapa tidak berhukum selain dengan hukum Allah maka kafir”.

Dalam pengetahuannya, banyak ulama berbeda pendapat dan mayoritas menyebut jika dalil tersebut tidak serta merta dialamatkan kepada sistem ketatanegaraan, seperti konsep monarkhi, demokrasi, sosialis maupun yang lainnya.

“Hukum Allah yang dimaksud tidak terkait dengan ketatanegaraan,” kata Prof JM Muslimin.

Akademisi dari UIN Syarif Hidayatullah tersebut pun mengutip dalil yang diriwayatkan oleh Ibnu Taimiyah, disebutkan bahwa pemerintahan non islam tapi adil akan diberkahi sementara pemerintahan islam tapi tidak adil akan dihancurkan.

“Karenanya tidak ada alasan untuk melakukan kekerasan atau perlawanan kepada pemerintah dengan alasan mereka tidak melaksanakan hukum Allah,” tuturnya.

Lebih lanjut, ia menyebut bahwa kunci ”hukum Allah”, mengutip Muhammad Said Ramadhan al Buthi, dalam ketatanegaraan adalah “kebermanfatan atau maslahah”, persatuan bangsa, dan kewajiban membela negara.

“Konsekuwnsinya: hukum negara harus dipengaruhi prinsip maslahat sesuai syariat, hukum harus mewujudkan stabilitias dan kebaikan kolektif, penegakan hukum bertujuan menciptakan masyarakat aman, tertib, dan produktif,” papar Prof JM Muslimun.

Dalam kesempatan yang sama, cendekiawan muslim, Ust Para Wijayanto memberikan paparannya soal konteks kenegaraan, bahwa sebuah bangsa diperintahkan untuk bersatu tanpa mempedulikan latar belakang kesukuan maupun agama.

“Kita semua adalah ummah yang diperintahkan untuk bersatu, apa pun latar belakang agamanya. Itu artinya, meskipun berbeda agama, kita semua memiliki tanggung jawab politik, keamanan, dan sosial yang harus dijalankan bersama,” kata Para Wijayanto.

Setiap insan bangsa Indonesia terlepas apa pun agamanya, memiliki kewajiban untuk bersama-sama menjaga kedaulatan negaranya. Terlebih dalam konsep Islam, membela tanah air adalah wajib.

“Konsep bela negara dalam Islam dan NKRI bukan hanya urusan kelompok tertentu, tapi tanggung jawab kolektif semua warga. Relevan dengan UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar piagam kebangsaan Indonesia,” jelasnya.

Oleh sebab itu, mantan Amir Jemaah Islamiyah terasbut menekankan bahwa untuk bisa menjaga kedaulatan NKRI, harus memahami aspek fundamental. Antara lain ; mandasan hukum & filosofi bela negara di Indonesia yakni Pancasila (Persatuan Indonesia, Keadilan Sosial).

Kemudian UUD 1945. Yang mana di dalam Pasal 27 ayat (3), termaktub tentang hak dan kewajiban bela negara. Begitu juga dengan UU Nomor 3 Tahun 2002 dan UU Nomor 23 Tahun 2019 yang menjelaskan tentang sistem pertahanan semesta, melibatkan seluruh rakyat dan sumber daya nasional,” ucap Ustadz Para Wijayanto.

Maka dari itu, ada makna yang harus dipahami, bahwa bela negara tidak hanya persoalan angkat senjata, akan tetapi juga sikap, perilaku, dan tindakan menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa sesuai peran masing-masing.

“Dimensi perilaku bela negara antara lain ; kesadaran berkonstitusi (taat hukum, menghormati perbedaan). Partisipasi sosial-politik (gotong royong, pemilu, demokrasi). Ketahanan nasional (ilmu, teknologi, ekonomi, kewaspadaan ancaman),” paparnya.

Selain itu juga persoalan kesiapan fisik dan mental (pelatihan bela negara, disiplin, semangat juang). Kemudian hubungan bela negara dengan cinta tanah air yang seharusnya menjadj motivasi, sebab bela negara adalah manifestasi nyata.

Semua itu dapat dilakukan dengan cara menunjukkannya bagaimana menjaga simbol negara, melestarikan budaya dan lingkungan, memakai produk dalam negeri, menjaga citra bangsa.

Dalam perspektifnya, langkah tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan kekinian, yakni memanfaatkan teknologi dan informasi.

“Globalisasi dan digitalisasi: melawan hoaks, ujaran kebencian, disinformasi. Ancaman radikalisme dan terorisme: memperkuat toleransi dan moderasi beragama,” pungkasnya.

Dalam kesempatan yang sama pula, Gus Ulil memberikan pemahaman tentang hukum positif yang berjalan di Indonesia selama ini. Apakah umat Islam boleh patuh pada hukum konstitusi tersebut.

“Terkait tema hukum patuh pada hukum nasional, PBNU menyatakan boleh; selama tidak bertentangan dengan hukum agama,” kata Gus Ulil.

Sebagai pemimpin negara, pemerintah memang berhak untuk menyusun sebuah aturan yang disepakati oleh masyarakat. Bahkan produk Undang-Undang dan regulasi turunannya pun wajib diatuhi oleh umat sepanjang tidak menimbulkan kemudharatan.

“Pemimpin negara diperbolehkan membuat aturan atau siyasah, dan penduduknya wajib mematuhi kebijakan tersebut,” ujarnya.

Bahkan patuh pada aturan hukum konstitusi negara tersebut merupakan bagian dari perintah Allah SWT. Di mana umat wajib taat pada ulil amri atau pemerintah. Hal ini termaktub di dalam Alquran surat Surat An-Nisa ayat 59.

“Alquran menegaskan agar taat kepada Allah, Rasul dan ulil amri. Konsekuensi logis yang dianut para ulama kita adalah mengangkat pemimpin yang bijak. Dalam kitab-kitab klasik disebut kewajiban patuh pada pimpinan berasal dari perintah agama, bukan akal,” pungkas Gus Ulil.

Hasil Bahtsul Masail PCNU Jakarta Barat :

1. Islam memerintahkan taat kepada Allah, Rasul, dan ulil amri selama tidak pada kemaksiatan. Dalam konteks Indonesia, hukum positif boleh dipatuhi meskipun tidak sepenuhnya bersumber dari syariat Islam, selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar agama. Para Ulama memandang Indonesia sebagai Dār al-„Ahd wa al-Syahādah1, sehingga menaati hukum negara adalah bagian dari menjaga kemaslahatan. Hal ini sejalan dengan maqāṣid al-syarī„ah dalam menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta.

2. Islam adalah raḥmatan lil-„ālamīn yang menolak intoleransi, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. Aksi-aksi tersebut bukan jihad, melainkan ḥirābah yang haram karena merusak jiwa, akal, agama, harta, dan keturunan. Pandangan Ulama menegaskan pentingnya moderasi, toleransi, dan keadilan demi menjaga persatuan umat sesuai maqāṣid al-syarī„ah.

RJI Nilai Demokrasi Sedang Dijarah dari Dalam Jika Biarkan Politikus Bermental Rampok Bercokol

Melanesiatimes.com – Founder Restorasi Jiwa Indonesia, Syam Basrijal, melontarkan kritik keras terhadap fenomena politikus yang hanya menjadikan demokrasi sekadar ajang untuk mencari kekuasaan demi bisa memperkaya diri, bukan untuk mengabdi kepada rakyat sesuai amanat konstitusi.

Menurutnya, politik seharusnya lahir dari semangat pengabdian dan menjadi jalan mulia dalam membangun bangsa. Namun kenyataannya, ada segelintir politikus yang justru menunjukkan perilaku sebaliknya.

“Politikus bermental rampok hadir bukan untuk melayani, melainkan untuk menjarah. Demokrasi dijadikan pintu emas untuk memperkaya diri, bukan sebagai wadah suci menjaga kepentingan rakyat,” kata Syam Basrijal dalam rilisnya, Sabtu (20/9/2025).

Syam menilai, janji-janji kampanye yang diucapkan sering kali hanya mantera pemikat hati rakyat. Tetapi ketika kursi kekuasaan sudah digenggam, orientasi yang muncul bukan pelayanan, melainkan kerakusan.

“Mental rampok ini tidak mengenal kata cukup. Mereka memandang kekuasaan sebagai lahan garapan, dan anggaran negara sebagai kue rampasan yang harus diperebutkan,” tegasnya.

Fenomena itu, lanjut Syam, sering terselubung di balik program-program yang tampak mulia. Infrastruktur dibangun namun anggarannya membengkak karena adanya komisi. Regulasi disusun, tetapi lebih berpihak pada kepentingan kelompok daripada rakyat.

Ia menyebut praktik ini telah mengubah wajah demokrasi dari rumah kebersamaan menjadi sekadar panggung sandiwara.

Lantas, Syam juga menyoroti dampak buruknya terhadap moral bangsa. Rakyat terbiasa disuguhi kebohongan, sementara generasi muda dipaksa belajar pelajaran keliru tentang bagaimana kekuasaan dijalankan.

“Untuk berkuasa harus pandai menipu, untuk bertahan harus siap menyuap, dan untuk naik pangkat harus mampu menggadaikan integritas. Inilah virus yang pelan-pelan melumpuhkan bangsa,” ungkapnya.

Menurutnya, kejahatan politikus bermental rampok tidak sekadar soal uang yang dirampas. Lebih dari itu, mereka mencuri kepercayaan rakyat.

Padahal, kepercayaan adalah modal sosial yang sangat berharga. Sekali retak, akan sulit memulihkannya.

“Politik akhirnya hanya dianggap permainan kotor, jauh dari panggilan mulia untuk melayani kehidupan bersama,” tutur Syam Basrijal.

Syam juga mengingatkan bahwa fenomena ini kerap melahirkan lingkaran oligarki, di mana para politikus bermental rampok saling melindungi. Mereka menguasai proyek, tender, hingga hukum, sementara rakyat hanya dijadikan tameng.

“Yang berbeda partai bisa saja bersekongkol jika ada kepentingan bersama. Pada titik ini, negara dijarah bukan dari luar, melainkan dari dalam,” tegasnya.

Saatnya Rakyat Bangkit

Meski demikian, Syam mengajak masyarakat untuk tidak tinggal diam. Ia menekankan pentingnya kesadaran kolektif agar politik kembali menjadi ruang pengabdian, bukan ruang perampokan.

“Diam berarti menyetujui. Melawan dengan kesadaran berarti menjaga masa depan bangsa,” ujarnya.

Ia menekankan bahwa bangsa ini membutuhkan pemimpin berjiwa negarawan, bukan sekadar lihai berkamuflase. Restorasi politik harus berawal dari restorasi jiwa, sebab kepemimpinan sejati lahir dari jiwa yang bersih, bukan dari kerakusan.

Kini, lanjutnya, sudah saatnya rakyat berani bersuara untuk menghentikan praktik perampokan yang dibungkus dalam seragam demokrasi.

“Politik tanpa moral hanyalah perampokan yang dilegalkan; dan bangsa yang diam, sedang menulis takdir kehancurannya sendiri,” pungkas Syam Basrijal.

Anggota DPRD Gorontalo Viral Berujung Pemecatan

Sebelumnya diketahui, seorang politisi asal PDIP Wahyudin Moridu viral setelah videonya viral di media sosial. Di mana ia tambak mengendarai sebuah mobil bersama seorang perempuan dan berseloroh akan merampok uang-uang negara agar rakyat miskin.

“Kita rampok aja uang negara ini, ya kan. Kita habiskan aja. Biar negara ini semakin miskin,” ucapnya.

Akibatnya, kini statusnya sebagai anggota DPRD Gorontalo pun akhirnya harus ia tanggalkan karena telah mendapatkan sanksi tegas dari Partai atas apa yang ia ucapkan tersebut.

Ketua DPP PDI-P Bidang Kehormatan Komarudin Watubun mengatakan, bahwa pihaknya telah laporan atas fakta video viral yang menyeret anggota dewan dari partai berlambang Banteng Moncong Putih tersebut. Laporan itu dilakukan oleh DPD PDI-P Gorontalo.

“Jadi memang yang bersangkutan telah dilakukan klarifikasi oleh DPD Gorontalo. DPD sudah menyampaikan laporan kepada DPP, memohon untuk diambil tindakan organisasi atas perbuatannya,” ujar Komarudin saat dihubungi, Sabtu (20/9/2025).

Oleh sebab itu, ia pun menyampaikan jika surat telah diterima oleh DPP PDI untuk segera ditindaklanjuti. Bahkan ia menyebut hari ini surat pemecatan sudah keluar sehingga dapat dijadikan rujukan bagi PDIP Gotontalo untuk memproses PAW (pergantian antar waktu) di DPRD Gorontalo dalam waktu dekat.

“Komite etik dan disiplin telah merekomendasikan kepada DPP, dan hari ini DPP mengeluarkan surat pemecatan kepada yang bersangkutan. Dalam waktu dekat segera dilakukan PAW,” sambungnya.

Ternyata Bansos Simpan Toxic Charity, Begini Cara Mengatasinya Menurut Founder Restorasi Jiwa Indonesia

Melanesiatimes.com – Founder Restorasi Jiwa Indonesia (RJI) Syam Basrijal menjelaskan bahwa ada sebuah kebiasaan yang sangat kentara di depan muka publik, sepertinya merupakan sesuatu yang sangat mulia, namun di sisi lain bisa memiliki daya rusak yang sangat luar biasa. Hal itu ia sebut sebagai toxic charity.

“Ada satu pola kebiasaan yang tampak mulia di permukaan, namun sejatinya beracun bagi jiwa: toxic charity,” kata Syam Basrija, Sabtu (13/8/2025).

Dalam pandangannya, toxic charity adalah sebuah bentuk kebaikan yang salah arah, di mana sebuah aktivitas tersebut justru membuat orang semakin bergantung dan kehilangan daya juang.

Ia tidak sedang menyalahkan kegiatan berbagi dan memberi yang dikenal sebagai core of mentality dari manusia, yakni empati. Hanya saja ketika pemberian itu dilakukan sekadar

“Memberi bantuan instan memang tampak heroik, tetapi jika dilakukan terus-menerus tanpa pendidikan kesadaran, hasilnya bukanlah kemandirian, melainkan ketergantungan yang kronis,” ujarnya.

Syam mengingatkan, bahwa toxic charity sering lahir dari niat baik yang tidak disertai pandangan jauh ke depan. Semuanya berbasis jangka pendek karena bisa jadi berawal dari empati semata, tanpa ada konstruksi sosial yang jelas.

“Ketika melihat orang miskin, segera diberi uang; ketika melihat anak putus sekolah, langsung diberi sembako. Semua tampak cepat dan praktis, namun sesungguhnya menumbuhkan mental miskin: pola pikir yang terus merasa kurang, lemah, dan harus selalu ditolong,” tutur Syam Basrijal.

Lebih buruk lagi, ia menegaskan bahwa toxic charity dapat melahirkan mental korban, di mana muncul jiwa yang selalu merasa menjadi objek belas kasihan, tanpa berani mengambil tanggung jawab atas hidupnya sendiri.

Fenomena yang dapat dijadikan contoh konkret adalah konsep Bantuan Sosial (Bansos) yang terjadi di kalangan masyarakat politik saat ini, khususnya di kalangan pedesaan. Di mana seharusnya menurut Syam, konsep bansos menjadi jaring pengaman darurat bagi kebutuhan jangka pendek masyarakat, kini malah cenderung berubah menjadi candu politik. Dalam jangka panjang, ia mengingatkan ini adalah situasi yang sangat berbahaya bagi mentalitas bangsa Indonesia, khususnya kalangan menengah ke bawah.

“Alih-alih memberdayakan rakyat, ia menjadikan mereka pasif menunggu kapan bantuan berikutnya datang. Budaya ini secara halus mencetak generasi yang terbiasa menengadah, bukan berani berdiri. Di sinilah racun toxic charity bekerja, pelan tapi pasti melemahkan martabat,” terangnya.

Padahal kata Syam, martabat manusia tidak pernah lahir dari belas kasihan. Martabat hanya tumbuh dari kesadaran akan kekuatan diri. Ketika seseorang terlalu lama diberi tanpa dilatih, daya juangnya mati. Ia kehilangan kreativitas untuk mencari jalan, kehilangan keberanian untuk gagal, kehilangan keyakinan bahwa dirinya mampu. Inilah bahaya paling besar dari toxic charity: ia membunuh potensi sebelum sempat tumbuh.

Dalam perspektif itu, Restorasi Jiwa Indonesia menilai toxic charity wajib ditolak karena akan berangsur menjadi budaya yang tidak baik bagi masyarakat. Maka perlu ada kesadaran kolektif yang lebih holistik dari seluruh unsur bangsa Indonesia untuk meningkatkan literasi jiwa dalam rangka menjadi upaya menebarkan narasi restoratif.

“Melalui narasi restoratif, kami menyembuhkan luka lama. Melalui gagasan transformatif, kami mengguncang paradigma lama yang membuat orang merasa kecil. Dengan literasi jiwa, pemberdayaan menjadi nyata, karena orang tidak hanya diberi ‘ikan’, tetapi diajarkan cara ‘memancing’ dengan kesadaran baru,” jelas Syam Basrijal.

“Kami hadir bukan untuk menenangkan luka dengan perban sementara, tetapi untuk menyentuh akar persoalan. Kami percaya bahwa setiap jiwa diciptakan kaya: kaya ide, kaya cinta, kaya harapan, dan kaya keberanian. Kekayaan itu hanya bisa muncul bila pola pikir yang melemahkan diubah menjadi pola pikir yang memberdayakan. Dan perubahan itu tidak lahir dari belas kasihan instan, melainkan dari literasi jiwa yang restoratif,” sambungnya.

Syam Basrijal pun mengajak semua orang untuk lihat contoh sederhana. Di mana ketika ada seorang pemuda yang gagal melanjutkan sekolah, maka dengan memberi sembako memang bisa membantu, namun hanya menunda lapar sehari. Tetapi mengajarinya membaca potensi diri, mengelola emosi, dan menyalurkan kreativitas akan memberinya bekal seumur hidup.

“Inilah yang membedakan toxic charity dengan pemberdayaan sejati: yang satu meninabobokan, yang lain membangunkan,” ucap Syam Basrijal.

Dalam praktik yang lumrah terjadi di pedesaan. Banyak komunitas yang dijadikan objek bantuan instan, tetapi tetap miskin bertahun-tahun. Mengapa demikian, karena yang mereka terima adalah belas kasihan, bukan pengetahuan. Maka dari itu, Syam Basrijal menyatakan bahwa Restorasi Jiwa Indonesia memilih jalan lain, yakni melatih masyarakat membaca dirinya, membangun pola pikir produktif, dan menyalakan mental pemenang. Dari sini lahirlah martabat, bukan sekadar kenyang sesaat.

“Pemenang sejati bukanlah mereka yang tak pernah jatuh, melainkan mereka yang berani bangkit dengan kesadaran baru. Jiwa pemenang tidak mengemis simpati, melainkan mencipta jalan. Jiwa pemenang tidak pasrah menunggu keadaan berubah, melainkan mengubah keadaan dengan daya juangnya. Dan inilah generasi yang ingin kami bangun: generasi dengan mental kaya, yang melihat dunia bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai peluang,” paparnya.

Terakhir, Syam Basrijal menyebut jika toxic charity terus dipelihara, maka bangsa ini lambat laun akan terjebak dalam lingkaran ketergantungan tanpa ujung. Namun apabila literasi jiwa dan mental pemenang ditanamkan, kita akan melihat lahirnya generasi yang berani bermimpi besar, teguh berjuang, dan percaya pada kekuatan dirinya. Generasi ini tidak menunggu belas kasihan, melainkan menyalakan jalan baru dengan kesadarannya.

“Restorasi Jiwa Indonesia percaya: belas kasihan boleh ada, tetapi harus menjadi pintu menuju kesadaran, bukan jerat yang mematikan. Bantuan boleh diberikan, tetapi harus disertai pendidikan jiwa agar orang berani mandiri. Karena tujuan kita bukan merawat korban, tetapi membangunkan pemenang,” tukasnya.

“Maka saya tegaskan: toxic charity adalah racun yang harus dihentikan. Bangsa ini tidak butuh lebih banyak penonton yang pasrah, tetapi jiwa-jiwa pemenang yang berani berdiri. Restorasi Jiwa Indonesia hadir untuk menyalakan kesadaran itu—bahwa kemerdekaan sejati bukan datang dari belas kasihan, melainkan dari jiwa yang sadar, berani, dan penuh daya cipta,” pungkas Syam Basrijal.

RJI Nilai Pemerintah Punya Waktu 100 Hari untuk Perbaiki Kondisi Nasional

Melanesiatimes.com – Restorasi Jiwa Indonesia (RJI) memandang bahwa publik akan terobati luka-lukanya atas sikap dan kebijakan pemerintah maupun legislatif yang dianggap bertentangan dengan kepentingan dan hati nurani rakyat.

Hal ini seperti yang disampaikan oleh Founder RJI, Syam Basrijal, bahwa kemarahan publik terlepas itu yang anarkis maupun yang tidak, sebenarnya berangkat dari kondisi yang sama, bahwa mereka geram dengan beberapa public policy yang dikeluarkan oleh penyelenggara negara.

“Ia bukan hanya reaksi atas tunjangan pejabat atau jatuhnya korban di jalanan, melainkan simbol dari jurang ketidakadilan yang semakin terasa,” kata Syam Basrijal dalam tulisannya yang berjudul “100 Hari Menenun Kembali Kepercayaan Rakyat”, Selasa (2/9/2025).

Menurutnya, saat ini memang situasi nasional yang sempat terjadi kerusuhan sudah semakin mereda. Namun demikian bukan berarti persoalan rampung. Justru ini adalah kesempatan bagi pemerintah dan DPR RI khususnya melakukan evaluasi diri.

“Dalam situasi ini, seruan rakyat jelas: pemimpin harus menutup jurang itu, bukan dengan retorika, melainkan dengan langkah nyata yang meringankan beban hidup sehari-hari,” ujarnya.

Setidaknya kata Syam, penyelenggara negara memiliki waktu 100 hari ke depan untuk melakukan perbaikan, mulai dari komunikasi publik, hingga kebijakan apa yang telah dikeluarkan dan memicu gejolak sosial yang masif.

“Maka, seratus hari ke depan menjadi ujian moral sekaligus momentum untuk memulihkan kepercayaan,” tutur Syam.

Dalam perspektif sosial, Syam Basrijal memandang bahwa aspek kebutuhan dasar masyarakat harus dibereskan secepat mungkin. Baik dari harga pangan, pendidikan dan lainnya.

“Prioritas utama adalah menstabilkan kebutuhan dasar rakyat. Harga beras yang terus melambung, LPG 3 kilogram yang kerap langka, hingga biaya pendidikan yang menekan keluarga kecil harus segera ditangani,” tandasnya.

Dituturkan Syam Basrijal, publik akan tetap menaruh kemarahan kepada pemerintah dan DPR manakala program-program bombastis sekadar menjadi retorika belaka, apalagi jika justru malah membuat sektor rill masyarakat terabaikan.

“Pemerintah tidak cukup hanya mengumumkan program, melainkan harus hadir di pasar, di dapur rakyat, di ruang belajar anak-anak. Subsidi harus benar-benar tepat sasaran, bukan sekadar angka di atas kertas,” tukas Syam Basrijal.

“Moratorium sementara terhadap pajak dan pungutan yang mencekik, terutama di tingkat daerah, juga menjadi langkah penting untuk memberi ruang bernapas bagi rakyat,” sambungnya.

Tidak sekadar sektor ekonomi saja yang dibereskan. Perlu hadir juga transparansi yang menjadi aspek penting dan selalu menjadi obyek kritik tajam dari publik selama ini.

“Ekonomi saja tidak cukup. Kepercayaan publik hanya bisa tumbuh jika transparansi ditegakkan. DPR sebagai simbol representasi rakyat tidak boleh lagi menjadi ruang gelap privilese. Sudah saatnya dibuka dashboard kinerja yang bisa diakses siapa pun—menunjukkan kehadiran, produktivitas legislasi, hingga transparansi anggaran,” terangnya.

“Dengan begitu, rakyat bisa menilai langsung apakah wakilnya benar-benar bekerja atau sekadar menikmati kursi empuk kekuasaan,” lanjut Syam.

Di samping itu, dalam 100 hari ke depan pun ia sarankan pemerintah dan DPR serta seluruh pemangku kebijakan membuka ruang seluas-luasnya untuk rakyat dapat berdialog menyampaikan kritikan dan masukan yang konstruktif kepada mereka secara aman, nyaman dan damai.

“Dialog nasional menjadi kebutuhan mendesak, bukan sekadar seremonial. Pemerintah, mahasiswa, buruh, komunitas ojol, akademisi, hingga ulama harus duduk setara di meja bundar. Mandatnya jelas: menata harga kebutuhan pokok, merumuskan SOP aksi damai agar tragedi tak berulang, serta mempercepat legislasi antikorupsi seperti RUU Perampasan Aset. Dari ruang dialog inilah bisa lahir konsensus baru—bahwa demokrasi bukanlah arena arogansi elite, melainkan wadah untuk menghidupi rakyat,” terang Syam Basrijal.

Jika semua saran itu dilakukan oleh para elite dan pemangku kebijakan di Republik Indonesia, Syam Basrijal percaya Indonesia akan kembali pulih dan bertumbuh karena telah terciptanya harmonisasi antara rakyat dan pemangku kebijakan.

Karena keberhasilan 100 hari pemulihan ini juga bergantung pada komunikasi yang rendah hati. Tidak boleh ada lagi ucapan pejabat yang merendahkan rakyat, apalagi di tengah krisis. Setiap kata yang keluar harus melewati saringan empati: apakah ini menambah martabat rakyat atau justru menyinggung luka mereka. Dalam masa transisi ini, kerendahan hati jauh lebih bernilai daripada sekadar mempertahankan gengsi politik.

“Jika seratus hari pertama ini bisa dijalankan dengan komitmen, maka rakyat akan melihat tanda bahwa pemerintah benar-benar mendengar. Bukan berarti semua masalah selesai, tetapi arah perjalanan bangsa akan mulai bergerak ke jalur yang benar: dari ketidakpercayaan menuju pemulihan, dari luka menuju rekonsiliasi. Keberanian untuk mengambil keputusan berpihak pada rakyat adalah bahan bakar utama yang bisa memperkuat legitimasi pemerintahan ke depan,” tandasnya.

Massa, Provokasi, dan Bahaya Kepo: Dari Penonton ke Penjara

Melanesiatimes.com – Fenomena kerusuhan yang kerap terjadi di tanah air ternyata tidak selalu berawal dari niat merusak. Banyak peristiwa bermula dari hal-hal sepele, seperti rasa ingin tahu, ikut-ikutan, atau sekadar berada di tengah keramaian.

Founder Restorasi Jiwa Indonesia, Syam Basrijal, menegaskan bahwa perilaku massa yang berubah liar seringkali dipicu oleh lemahnya kontrol diri dalam kerumunan.

“Satu momen kepo bisa menyeretmu dari penonton jadi pelaku, dari pelaku jadi korban, dan korban itu bisa merambah orang lain yang tak bersalah. Jeda diri adalah kunci agar kita tidak hanyut dalam permainan yang menjerumuskan,” ungkap Syam Basrijal dalam keterangan tertulisnya, Minggu (31/8/2025).

Syam menjelaskan, fenomena ini dapat dilihat melalui teori psikologi massa. Menurut Gustave Le Bon, dalam kerumunan individu cenderung kehilangan identitas personal dan melebur ke dalam “jiwa kolektif”. Dalam kondisi ini, daya kritis melemah, kendali moral runtuh, dan rasa tanggung jawab menghilang. Freud menambahkan, norma pribadi sering kali digantikan oleh norma massa yang bersifat sementara. Hal tersebut tampak nyata dalam demonstrasi yang berujung ricuh.

“Dari sekadar berdiri menonton, orang mulai ikut berteriak. Dari ikut berteriak, ia bisa terlibat melempar benda atau merusak fasilitas umum. Ia merasa ‘tak terlihat’ karena dilindungi oleh jumlah. Inilah titik kritis di mana penonton berubah menjadi pelaku tak sengaja,” papar Syam.

Lebih jauh, ia menyoroti dampak besar yang ditimbulkan. Banyak yang hanyut dalam kerumunan justru berakhir sebagai korban—ada yang terluka, ditangkap aparat, hingga dijadikan tersangka meski niat awalnya hanya ingin melihat. “Inilah wajah pahit dari ramai yang menjerumuskan,” katanya.

Tak hanya itu, situasi kacau juga membuka peluang bagi pihak-pihak tertentu untuk menunggangi arus massa demi kepentingan politik maupun kepentingan lain yang lebih besar. Dalam posisi ini, rakyat tanpa sadar hanya menjadi pion dalam permainan.

Sebagai jalan keluar, Syam menekankan pentingnya jeda diri sebagai bentuk kesadaran individu. Menurutnya, jeda adalah ruang untuk berhenti sejenak sebelum bereaksi.

“Ia bukan pasif, melainkan kekuatan sunyi untuk menimbang langkah. Dengan jeda, seseorang bisa memutus rantai provokasi, menolak hanyut dalam arus, dan menjaga aspirasi tetap murni,” tuturnya.

Ia pun menegaskan bahwa bangsa ini tidak membutuhkan lebih banyak pion yang hanyut tanpa arah. Yang dibutuhkan adalah jiwa-jiwa sadar yang berani menahan diri, berani menolak provokasi, dan berani menjaga tenang di tengah keramaian.

“Karena masa depan Indonesia tidak akan ditentukan oleh siapa yang paling keras berteriak, tetapi oleh siapa yang paling jernih menjaga kesadarannya,” pungkas Syam Basrijal.